“Student Hidjo”, 1918 Novel That Become An Important History of Changes in Indonesia (Bilingual)

Bahasa Indonesia is quiet complicated, different words are used for different purposes even though it has the same meaning. The culture and custom behaviors in the era of monarch have a strong influence to the development of this languange structure up till now. But, there are things that also influence the changes, not only by the West but also by the writing of Indonesian thinker, such as Marco Kartodikromo who published his novel “Student Hidjo” in 1918. He picked to use the word “Saya” instead of “Hamba” or “Aku” in his book to point out the meaning of “I” as his fight againts Dutch colonialism and to have equal rights.

Bahasa Indonesia sangat rumit, beda kata digunakan untuk tujuan berbeda walupun memiliki arti yang sama. Budaya dan kebiasaan di zaman kerajaan memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan struktur bahasa ini hingga sekarang. Namun ada beberapa hal yang juga mempengaruhi perubahan, bukan hanya dari Barat tetapi juga oleh tulisan yang dibuat oleh seorang pemikir asal Indonesia, seperti Marco Kartodikromo yang mempublikasikan novel berjudul “Student Hidjo” pada tahun 1918. Beliau memilih kata “Saya” daripada kata “Hamba” dan “Aku” di dalam bukunya untuk menunjukkan arti kata “Saya” sebagai bentuk perlawanannya terhadap penjajah Belanda dan untuk mendapatkan hak yang sama.


Source : tokopedia.com

I remember my dad gave me this book when I was teenager and I still have it now. This book is very unique and I like it., though it is already too old and difficult to open. It explained to me the reasons why Western culture is not appriate for Javanese Culture and even though there are some influences, it will not changed the principle ideology and philosophy of Javanese culture. He described how marriage is for love in Western Culture, but marriage is about social mobility for Javanese. Wew!!!

Saya masih ingat ketika Ayah saya memberikan buku ini ketika masih remaja, dan saya masih memilikinya hingga sekarang. Buku ini sangat unik dan saya menyukainya, walau kini sudah sangat usang dan susah dibuka lagi. Buku ini memberikan saya penjelasan mengapa budaya Barat tidak bisa disandingkan dengan Budaya Jawa dan meskipun ada pengaruhnya, tetapi tetap tidak bisa mengubah prinsip ideologi dan filosofi budaya Jawa. Dia menceritakan bagaimana kalau di Barat, menikah itu karena cinta, sementara pernikahan adalah soal mobilitas sosial bagi orang Jawa. Wow!!!

Until then when I joined an open book discussion, I forgot the time but it was before 1998, that discussed about this book. A book that written in Bahasa Melayu in 1918 and out of the rules of custom literature at that time. The way Marco Kartodikromo wrote his book was totally different from other famous and senior writers such as Armijn Pane. He was out of standard Bahasa. His words were not lilting but strong and cheerful. It was seems “weird” to use the word “Saya” at that time, especially in literature, but he had his own argument about it. He had different perception of the word “Hamba” that normaly used by writers from Sumatra, and He did not want to use the word “Aku” that normaly used by writers from Java either. “Hamba” was too passive and “Aku” was too rude and inpolite for him. Instead, He used the word “Saya” to explain his position that equally the same with all others and still keep the standard of politeness. For me, He is a rebel, and He is one of the rebellious literature pioneer in Indonesia. I love him!

Sampai kemudian saya ikut sebuah acara bedah buku, saya lupa kapan tetapi sebelum tahun 1998, yang mendiskusikan buku ini. Sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Melayu pada tahun 1918 dan keluar dari kebiasaan penulisan sastra pada saat itu. Cara Marko Kartodikromo menulis bukunya benar-benar berbeda dari cara menulis para penulis terkenal dan senior pada masa itu, seperti Armjin Pane. Dia benar-benar keluar dari standard Bahasa pada saa itu. Kata-kata yang digunakannya tidak mendayu-dayu tetapi sangat kuat dan cerita. Tampak aneh menggunakan kata “Saya” pada saat itu, terutama pada sastra, tetapi beliau memiliki argumen soal ini. Beliau memiliki persepsi berbeda atas kata “Hamba” yang biasa digunakan oleh penulis dari Sumatra, dan tidak juga mau memakai kata “Aku: seperti yang digunakan penulis asal Jawa. Kata “Hamba” terlalu pasif baginya, sementara kata “Aku” terlalu kasar dan tidak sopan. Beliau memilih menggunakan kata “Saya” untuk menjelaskan posisinya yang sama dengan yang lain tetapi juga tetap menjaga standard kesopanan. Bagi saya, beliau adalah pemeberontak, dan beliay adalah salah seorang pinoir literasi pemberontakan di Indonesia. Saya sangat menyukai beliau!

“Student Hidjo was written by Marco Kartodikromo, a journalist from Blora who began his career in Bandung and was strongly opposed to the policies of the Dutch East Indies government. For several years he worked as an editor at the Surakarta-based newspaper Doenia Bergerak; the city later served as the novel's setting. He spent five months in the Netherlands, from late 1916 to early 1917; upon his return, he was arrested by the Dutch governmental authorities for "sowing hatred" and sentenced to a year in prison in Weltevreden, Batavia (now Sawah Besar, Jakarta). It was while in prison that Kartodikromo wrote Student Hidjo..” Source: Wikipedia

”Student Hidjo ditulis oleh Marco Kartodikromo, seorang jurnalis asal Blora yang memulai karirnya di Bandung dan sangat menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Beberapa tahu beliau bekerja sebagai editor di koran “Doenia Bergerak” yang bermarkas di Solo; tempat di mana juga menjadi latar belakang dalam novel yang ditulisnya. Beliau menghabiskan waktu lima bulan di Belanda, dari tahun 1916-1917, dan setelah kembalim beliay ditangkap oleh pemerintah Belanda karena menunjukkan kebenciannya dan dipenjara di penjara Weltevreden, Batavia (Sekarang Sawah Besar, Jakarta). Saat dipenjara inilah, Kartodikromo menulis novrl “Student Hidjo.” Sumber: Wikipedia.

Since this book was published, the word “Saya” is used not only in literature but also in daily conversation. It is used as a formal and standard words that is polite but can be used for all ranked and generations. No limitations for this words, and can be accepted by all Indonesian. But, it all changed again since a few years behind. The word “Aku” is more dominant than the word “Saya” in literature and daily conversation. Perhaps, the word “Aku” is easier to used instead of “Saya”, without understand the history and its meaning, just because it is easier, I guess.

Sejak buku ini dipublikasikan, kata “Saya” tidak hanya digunakan di dalam literasi tetapi juga pada percakapan sehari-hari. Kata ini digunakan sebagai kata formal dan standard yang sopan dan dapat diterima serta digunakan oleh dan untuk semua kalangan. Tidak ada batasan bagi kata ini, dan dapat diterima oleh seluruh Indonesia. Tetapi kemudian berubah lagi sejak beberapa tahun terakhir. Kata “Aku” justru lebih dominan baik dalam literatur apalagi dalam percakapan sehari-hari. Mungkin karena kata “Aku” dianggap lebih mudah diucapkan daripada kata “Saya” tanpa paham sejarah dan artinya, hanya karena lebih mudah saja, perkiraan saya.

I still use “Saya” and rarely use “Aku”, for the respect of the history done by Marco Kartodikromo, and I do agree that “Saya” is more polite and put me in equal position among others. This is very important, that for me all are the same and all should be respected. “Aku” is too selfish and egoist for me, the sense of self belonging of the word “Aku” is too strong that creates a distance between one to another. It is mine, not yours, kinda like that and I do not feel comfortable about it.

Saya masih menggunakan kata “Saya” dan jarang sekali menggunakan kata “Aku”, untuk menghormati sejarah yang sudah dibuat oleh Marco Hartodikromo, dan saya juga setuju bahwa kata “Saya” lebih sopan dan memberikan saya posisi sejajar dengan siapapun. Ini penting sekali, bagi saya semua adalah sama dan semua harus dihormati. Kata “Aku” bagi saya terlalu egois dan kepemilikan dari kata “Aku” ini sangat kuat yang memberikan jarak antara satu dan lainnya. Ini bukan saya, tetapi kamu, kira-kira begitulah dan saya merasa tidak nyaman dengan hal ini.

Anyway, I have to thank to @phillyhistory and @sndbox who create 100 Years History Challenge (@sndbox/100-year-history-challenge-let-s-explore1918-upvote-prizes) that encourage me to write about this. Thanks also to @kakilasak who sent me the link about this challenge. I am sure the history about the word “Saya” is almost forgotten and perhaps only a few who knows about it. I hope with this writing, all could understand the importance of picking the right words, word is not only word, a word could make a lot of changes. Hence, we should be careful to pick the right word everytime we talk and write, it relects the truth about who we really are and our way of thinking, though we are lying. If we want to have a better world and future, than use the right words, make sure we understand each word we write, and be responsible for it.

Saya harus berterima kasih kepada @phylyhistory dan @sndbox yang sudah membuat 100 Year History Challenge (@sndbox/100-year-history-challenge-let-s-explore1918-upvote-prizes) yang juga sudah membuat saya menulis tentang hal ini. Terima kasih juga kepada @kakilasak yang sudah mengirimkan saya link kompetisi ini. Saya yakin sejarah kata “Saya ini hampir terlupakan dan bahkan hanya diketahui segelintir orang saja. Saya harap lewat tulisan ini, semua dapat mengerti pentingnya memilih kata yang tepat, kata bukan hanya sekedar kata, sebuah kata bisa membuat banyak perubaham. Karena itu, hati-hatilah dalam memilih kata setiap kali bicara dan menulis, kata menunjukkan siapa diri kita dan bagaimana kita berpikir, meskipun kita berdusta. Jika kita ingin memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih baik, maka gunakan kata yang benar, pastikan kita mengerti arti setiap kata dan berani mempertanggungjawabkannya.

Bandung, January 21th 2018

Warm Regards – Salam Hangat Selalu,

Mariska Lubis

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
83 Comments