Menara yang Menari | Dancing Tower |

Menara yang Menari

Mereka sudah pernah mendengar kisah heroik para pejuang yang berhasil meloloskan diri dari jeruji besi dengan bantuan siraman air kencing. Setiap pagi, para tahanan politik itu menyimpan air beraroma pesing di dalam sebuah wadah plastik yang kemudian mereka sembunyikan di dalam toilet atau di bawah tempat tidur. Mereka sudah hapal ritme kehidupan di dalam penjara. Sudah tahu jam berapa petugas berpatroli, waktu makan, salat Jumat bagi yang salat, sampai waktu bezuk. Semakin lama tinggal di penjara, semakin terbiasa tubuh mereka dengan denyut di dalamnya. Mereka bisa bangun tepat beberapa menit sebelum jatah sarapan dibagikan tanpa perlu dibangunkan rekan atau direcoki dengan raungan sirine. Detak jantung para tahanan seolah sudah menyatu dengan dengan jadwal di rumah tahanan.

Aroma pesing bukan hanya merontokkan bulu hidung tetapi juga membuat jeruji besi menjadi rapuh seperti tulang sepuh kekurangan kalsium. “Bila kalian tahan dengan aroma pesing,” begitu nasihat para pejuang, “maka tidak ada penjara yang mampu menahan kalian lebih lama.”

Mereka percaya itu, termasuk ketika para pejuang menambahkan, “dan kalau kalian mampu meminum air senimu sendiri, maka tidak ada penderitaan yang tidak mampu kalian lewati. Pada saatnya nanti, kalian akan terbebas dari rasa sakit dan nikmat. Semua rasa menjadi sama, tidak akan menyakiti atau membuatmu bahagia.”

Keberhasilan para pejuang kabur dari penjara dengan bantuan air kencing sudah menjadi legenda bagi mereka dan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, untuk menjadi pelajaran bagi mereka jika tertangkap nanti. Namun, beberapa yang tertangkap tidak pernah berhasil kabur dengan air kencing. Malah banyak di antara mereka yang terkencing-kencing karena kekejaman sipir yang menghajar mereka karena menganggap bagian dari teroris. Ketika mereka jelaskan pejuang kemerdekaan bukan teroris, kekerasan makin sering mereka terima. Sejarah memberikan dampak berbeda meski dilakukan dengan cara yang sama.

Kini kisah heroik itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Zaman sudah berubah dan para pemberontak yang dulu dikejar-kejar tentara untuk dibunuh, sekarang sudah dikawal tentara ke mana pun mereka pergi termasuk ke toilet karena ada yang tidak bisa menggunakannya, terutama di gedung-gedung mewah ketika mereka dinas luar kota. Mereka dulu kencing di atas rumput atau di bawah pohon dan menggunakan batangnya untuk bersuci. Doktrinnya kini sudah berbeda. Di depan tiga anak muda yang menatap mereka dengan penuh kekaguman, mereka berkata; “Kami masuk penjara dulu, baru menjadi bupati atau gubernur. Di provinsi lain, mereka jadi gubernur atau bupati, setelah itu baru masuk penjara.”

Anak-anak muda itu percaya karena begitulah televisi setiap saat mengabarkannya. Ada saja mantan walikota, mantan anggota dewan, mantan bupati, mantan gubernur bahkan mantan menteri yang masuk penjara karena jabatannya yang berlumur dosa di masa silam. Kenangan telah membawa mereka ke penjara.

“Suatu saat nanti, kalian yang harus menjadi walikota, bupati, gubernur, atau anggota dewan. Bahkan siapa tahu kalian bisa jadi presiden. Kalian tidak mungkin masuk penjara lagi karena perjuangan kita sudah berhasil. Kalau masuk penjara karena ganja, itu sebuah dosa. Kalau masuk penjara atas nama perjuangan, kalian akan dikenang sepanjang masa. Kalian bisa memilih, kami akan menyampaikan nanti bagaimana caranya. Sekarang, peluang kita menjadi penguasa hampir terkunci. Ini kendala politis. Kita sudah pernah mengalami situasi yang lebih buruk dan kita bisa mengatasinya. Mungkin nanti kalian bisa membantu.”

Itu disampaikan berbulan-bulan lalu kepada para pemuda yang selama masa perjuangan hanya memegang radio tetapi tidak pernah memegang senjata dalam pertempuran. Mereka dijanjikan akan diberikan kesempatan menjadi orang besar dengan segala kemudahan yang tidak pernah terbayangkan. Namun, sebelum sampai ke sana mereka harus melewati serangkaian ujian.

“Ujian pertama malam nanti. Kalian harus berani berjalan di bawah gelap di sebuah hutan kecil. Melintasi bukit kecil di seberang hutan tanpa seorang pun yang melihat, tetapi harus kembali dengan selamat. Kalau tidak selamat, maka tidak bisa menjadi bupati atau gubernur. Hanya orang yang lulus ujian yang mendapatkan peran,” kata seorang perantara. Dia mendatangi tiga anak muda itu di kampungnya dengan membawa sejumlah uang. Di luar itu, ada gergaji besi, oli, dan beberapa kaleng minuman bersoda.

Perantara itu hanyalah sopir seorang anggota dewan yang sudah pernah masuk penjara dengan kepala tertunduk dan keluar dengan kepala menjulang ke langit. Dia meletakkan semua yang dibawanya di atas meja bambu. Uang langsung lenyap sesaat setelah diletakkan, tetapi yang lainnya belum ada yang menyentuh. Tiga pemuda itu sempat melirik ke minuman kaleng bersoda tetapi tidak ada satu pun yang meraihnya. Minuman berkaleng merah itu masih utuh dalam kantong plastik berwarna biru. Tergeletak di samping gergaji besi bergagang merah. Oli juga terbungkus rapi dalam platik putih dan diikat ketat dengan karet. Ketiganya semula mengira itu teh untuk mereka minum, tetapi tadi sudah disampaikan bahwa itu isinya oli.

“Kalian bisa minum minuman kaleng ini, tapi jangan semuanya. Sisakan tiga atau empat kaleng untuk pekerjaan kalian nanti.

Kalau sudah selesai, kalian bisa meminumnya lagi. Tapi buat apa kalian berhemat. Uang yang diberikan sudah lebih dari cukup untuk membeli satu kulkas minuman kaleng. Kalau pekerjaan sudah selesai nanti, kalian akan mendapatkan tambahan uang. Jumlahnya, cukup untuk membeli satu kulkas yang tingginya di atas kepala kalian.”

Mereka tersenyum dalam bilik yang minim cahaya cuaca mendung sejak pagi tadi. Masing-masing membayangkan jumlah uang yang akan mereka terima dan apa yang akan mereka lakukan dengan uang itu.

“Kalian pasti sudah punya banyak rencana dengan uang yang banyak,” dia tertawa.

“Apa yang harus kami lakukan di dalam gelap?” tatap pemuda kedua yang duduk persis di tengah. Dialah yang mengambil uang yang tadi diletakkan di meja dan diperintahkan untuk membagikan secara adil.

“Kalian tahu menara yang terletak di seberang bukit itu? Nah, kalian harus membuat menara itu menari, sebelum kemudian terjatuh ke bumi. Siram kaki menara dengan oli dan minuman kaleng ini, tidak perlu gunakan kencing kalian. Setelah itu gergaji keempat kakinya. Mudah saja, anak kecil pun bisa melakukannya.”

Anak muda yang duduk di tengah menatap kedua temannya bergantian. “Bukankah itu menara listrik?”

Pemuda di depannya yang membenarkan.

“Untuk apa menggergaji menara listrik? Nanti semua daerah menjadi gelap dan masyarakat mengutuk kita seperti dulu. Dulu ada yang melakukannya, tapi itu di zaman perang. Dengan ada listrik pun kita tidur dalam gelap di hutan. Sekarang kita tidak lagi tidur di hutan. Bahkan sudah tidur di hotel yang kamarnya terletak di bawah awan.”

“Kita ini prajurit pejuang, hanya melakukan apa yang diperintahkan. Kita tidak bisa menjadi penguasa kalau menara itu tidak menari. Pimpinan kita lebih tahu hasilnya. Kalau kalian diminta membuat menara itu menari, lakukan saja. Jangan tanyakan mengapa. Itu pantangan dalam perjuangan,” dia menepuk bahu anak muda yang duduk di tengah sambil berpamitan.

Sesampai di luar, ia menengadah dan menyaksikan awan hitam bergumpal di langit. “Langit yang indah untuk mengajak menara menari,” desisnya.


Tiga bayangan mengendap di balik pepohonan. Mereka melangkah pelan mendekati kaki menara yang berdiri kokoh di balik kegelapan. Kaki menara berupa rangkaian besi berbentuk huruf L dan diperkuat dengan lapisan beton setinggi hampir setengah meter. Hanya butuh sepuluh langkah untuk sampai dari kaki ke kaki lainnya. Ketiga bayangan itu bergerak ke satu kaki menara dan berlutut di depannya.

Langit masih bergemuruh tetapi hujan belum juga turun. Angin berembus kencang sehingga pepohonan di sekitarnya seperti ikut menari. Minuman bersoda dalam kaleng berwarna merah sudah mereka siram ke kaki menara. Kemudian, seorang di antara mereka menyiramkan oli yang sudah dituangkan ke dalam botol bekas minuman mineral. Menurut kabar yang disampaikan ke mereka, campuran oli dan minuman bersoda itu akan merapuhkan kekuatan besi sekaligus meredam suara gergaji. Untuk yang terakhir, sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan karena gemuruh di langit lebih keras dibandingkan dengan suara gergaji.

Pekerjaan itu mereka selesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Setelah satu kaki putus mereka gergaji, ketiganya pindah ke kaki yang lain. Seorang di antara mereka celingukan ke sekitar, khawatir kalau-kalau ada orang yang menyaksikan perbuatan mereka. Tapi hanya gelap dan gelap di sekelilingnya. Bayangan pepohonan saja hanya terlihat ketika kilat menyambar.

Setelah kaki kedua putus digergaji, anak muda ketiga yang bertubuh lebih kurus dibandingkan kedua temannya, memilih untuk menyiramkan dua kaki menara yang lain dengan oli dan minuman bersoda. Kemudian dia berdiri menatap puncak menara yang terlihat begitu tinggi. Hanya langit gelap yang terlihat. Kilat yang berkelebat membantu pandangannya, tapi dia tidak juga berhasil melihat puncak menara yang seolah tersembunyi di balik lapis langit.

“Apa yang kamu lihat?” pemuda kedua berteriak. “Bantu aku menggergaji ini.”

Pemuda ketiga masih di tempatnya meski tidak lagi menengadah. “Apa kalian pernah melihat menara menari?”

“Jangan bertanya lagi. Kita sama-sama akan melihatnya kalau keempat kakinya sudah putus,” sahut pemuda kedua.

Anak muda ketiga kembali menengadah. Setitik air kemudian mengenai puncak hidungnya, lalu setitik lagi mengenai wajahnya, kemudian hampir seluruh wajahnya. Hujan sudah turun meski baru gerimis.

“Apa kalian pernah melihat menara menari?”

Pemuda pertama dan pemuda kedua saling berpandangan di dalam gelap. Titik-titik hujan juga mulai membasahi wajah mereka. “Ada apa dengan dia?” Tanya pemuda pertama.

“Cepatlah ke mari dan selesaikan pekerjaan kita. Kamu gergaji kaki menara ini atau aku akan menggergaji kakimu!”

Ancaman pemuda kedua tetap membuat pemuda ketiga bergeming. Bahkan kakinya tetap dalam posisi semua, hanya lehernya saja yang berpindah dari atas ke bawah atau sebaliknya.

“Aku melihat menara sedang menari. Ternyata menara ini ada penghuninya. Aku melihat dua malaikat berpakaian putih ikut menari bersama menara. Mereka, malaikat itu, berayun-ayun di antara menara. Berputar bersama menara. Sayap-sayap mereka berwarna merah dan mengeluarkan percikan api. Ke marilah, lihatlah itu, lihat. Dua malaikat menari bersama menara. Mereka menari. Sayap-sayap mereka bercahaya. Bola mata mereka bercahaya. Menyilaukan mata!”

Pemuda pertama dan kedua bangkit dan berjalan mendekati pemuda ketiga. Mereka juga menengadah ke puncak menara dan melihat sepasang malaikat. Bukan malaikat berpakaian putih seperti yang dikatakan pemuda ketiga. Sepasang malaikat itu, berpakaian serba hitam sehingga dalam kegelapan hanya bola mata saja yang terlihat. Bola mata api yang semakin lama semakin besar turun dengan cepat mendekati mereka. Cahaya yang memancar dari bola mata itu membuat mata para pemuda itu menjadi silau sehingga mereka tidak bisa melihat apa pun termasuk menara yang menari dengan lembut, berputar ke kiri dan kanan, meliuk-liuk seperti pinggul penari seudati, lalu sujud ke sebuah pohon besar yang sudah basah disiram hujan.***

Lhok Seumawe, April 2012

[Source]:
(TIRTOID-antarafoto-kebutuhan-listrik-jawa-timur-261016-um-5_ratio-16x9.JPG)


Dancing Tower

THEY'VE heard the heroic story of the fighters who managed to escape from the iron bars with the help of urine spray. Every morning, the political prisoners kept powdery water in a plastic container that they hid in the toilet or under the bed. They have memorized the rhythm of life in prison. Already know what time the officers are on patrol, meal time, Friday prayer for the prayer, until the time of duty. The longer they lived in prison, the more accustomed their bodies with the pulse in it. They can wake up just a few minutes before the breakfast ration is distributed without the need to be woken up or pestered with a siren roar. The heartbeat of the prisoners seemed to blend in with the schedule in the prison house.

The smell of urine not only thrashed the nose hair but also makes the iron bars become fragile as the bone less calcium deficiency. "If you stand with the aroma of the pest," advises the fighters, "then no prison can hold you any longer."
They believe it, including when the fighters add, "and if you can drink your own urine, then there is no suffering that you can not pass. In time, you will be free of pain and pleasure. All feelings are the same, will not hurt or make you happy. "

The success of the fighters escaped from prison with the help of urine has become a legend for them and repeated in various occasions, to be a lesson for them if caught later. However, some who were caught never managed to escape with urine. In fact, many of them are pissed because of the cruelty of the warden who beat them because they think part of the terrorist. When they explain freedom fighters are not terrorists, the violence they receive more and more often. History has a different impact even though it is done in the same way.

Now the heroic story is no longer needed. Times have changed and the rebels who had been chased by soldiers to be killed, are now guarded by soldiers wherever they go including to the toilets because some can not use them, especially in luxury buildings when they are off-duty. They used to pee on the grass or under the trees and use the trunks to wash. The doctrine is different now. In front of three young people who looked at them with admiration, they said; "We go to prison first, just become a regent or governor. In other provinces, they will be governors or regents, then just go to jail. "

The young people believe because that's how the television all the time tells it. There are former mayors, former councilors, former bupatis, former governors and even former ministers who go to jail for their past titles of sin. Memories have taken them to jail.

"Someday, you must be mayor, bupati, governor, or council member. Even who knows you can be president. You can not go to jail anymore because our struggle has succeeded. Going to jail for marijuana is a sin. If you go to jail in the name of the struggle, you will be remembered all the time. You can choose, we will tell you how. Now, our chances of being a ruler are almost locked. This is a political constraint. We've been through a worse situation and we can handle it. Maybe later you can help. "

It was conveyed months ago to the youth who during the struggle only held the radio but never held weapons in battle. They are promised to be given the opportunity to be a great man with all the conveniences never imagined. However, before getting there they have to pass a series of exams.

"The first test tonight. You must dare to walk under the dark in a small forest. Cross a small hill across the forest without anyone looking, but having to return safely. If it does not survive, then it can not be a bupati or governor. Only people who pass the exam get a role," said an intermediary. He went to the three young people in his village with some money. Beyond that, there are hacksaws, oil, and a few cans of soft drinks.

The intermediary is only the driver of a board member who has been in jail with his head bowed and coming out with his head rising to the sky. He put everything he put on the bamboo table. The money goes away shortly after being laid, but others have not yet touched. The three young men glanced at the cans of soft drinks but no one grabbed them. The red canned drink is still intact in a blue plastic bag. Lying next to a red-handed hacksaw. Oil is also neatly wrapped in white plates and tied tight with rubber. The three originally thought it was tea for them to drink, but it had been said that it was oil.

"You can drink these cans, but not all of them. Leave three or four cans for your work later. When finished, you can drink it again. But why do you save money. The money given was more than enough to buy a refrigerator of canned drinks. When the work is done, you will get extra money. The amount, enough to buy a refrigerator that high above your head. "

They were smiling in cubicles that had less light cloudy since this morning. Each imagines the amount of money they will receive and what they will do with the money.

"You must have got a lot of plans with a lot of money," he laughed.

"What should we do in the dark?" Looked at the second boy sitting exactly in the middle. It was he who took the money that had been put on the table and ordered to share fairly.

"Do you know the tower on the other side of the hill? Well, you must make the tower dance, before then fall to earth. Flush foot tower with oil and drink this can, no need to use your pee. After that saw the four legs. It's easy, little kids can do it. "

The young man sitting in the middle looked at his two friends alternately. "Is not that an electric tower?"

The young man in front of him who justified.

"What's the saw for electric towers? Later all the areas will be dark and people cursed us as before. Someone used to do it, but it was in the war. With no electricity we sleep in the dark in the woods. Now we no longer sleep in the woods. Even sleeping in a hotel whose room is under a cloud. "

"We're warriors, just doing what we're told. We can not be rulers if the tower does not dance. Our leaders know the results better. If you were asked to make the tower dance, just do it. Do not ask why. That's a taboo in the fight, "he tapped the shoulder of the young man sitting in the middle while saying good-bye. Once outside, he looked up and saw a black cloud clumping in the sky. "A beautiful sky to invite dancing towers," he hissed.


Three shadows settled behind the trees. They step slowly toward the foot of the tower that stands firmly behind the darkness. The legs of the tower in the form of a series of iron shaped L and reinforced with a layer of concrete as high as nearly half a meter. It takes only ten steps to get from foot to foot. The three shadows moved to one foot of the tower and knelt before him.

The sky was still rumbling but the rain had not yet come down. The wind blew so fast that the surrounding trees seemed to dance. Soft drinks in red cans they flush to the foot of the tower. Then, one of them sprinkled the oil that had been poured into the bottle of mineral beverage. According to news delivered to them, a mixture of oil and soft drinks that will bring down the strength of iron as well as muffle the sound of saws. For the latter, they do not really need them because the thunder in the sky is louder than the chainsaw sounds.

The work they completed in the not too long. After one leg broke off their saws, the three moved to the other. One of them was milling around, worried about someone watching their deeds. But only dark and dark around him. The shadow of the trees alone is only visible when lightning strikes.

After the second leg was sawed off, the third younger boy was thinner than his two friends, choosing to douse two other tower feet with oil and soft drinks. Then he stood staring at the top of the tower that looked so tall. Only the dark sky is visible. Lightning flashing helped her outlook, but she could not even see the top of the tower that seemed to be hidden beneath the heavens.

"What do you see?" The second youth shouted. "Help me saw this."

The third young man is still in his place even though he is no longer looking up. "Have you ever seen a dancing tower?"

"Do not ask again. We will both see it when the four legs are broken, "said the second youth.

The third young man looked up again. A drop of water then hit the top of his nose, then another speck about his face, then almost his entire face. The rain had fallen even though it was drizzling.

"Have you ever seen a dancing tower?"

The first youth and the second boy looked at each other in the dark. The rain spots also began to wet their faces. "What's wrong with him?" asked the first boy.

"Hurry up and finish our work. You hawked this tower or I'll saw your legs! "

Threat of second youth keeps the third youth unmoved. Even his legs remain in all positions, only his neck is moving from top to bottom or vice versa.

"I saw the tower dancing. Apparently this tower there are residents. I saw two white-clad angels dancing along with the tower.

They, the angel, swung between the towers. Spinning alongside the tower. Their wings are red and emit sparks. Come on, look at that, see. Two angels danced with the tower. They dance. Their wings glow. Their eyeballs glow. Dazzled the eye! "

The first and second youth got up and walked toward the third youth. They also looked up to the top of the tower and saw a pair of angels. Not an angel dressed in white as the third young man said. The pair of angels, dressed in black so that in the dark only eyeballs are visible. The ever-increasing fireballs descend rapidly toward them. The light that emanated from the eyeballs dazzled the eyes of the youth so that they could not see anything including the dancing towers gently, spinning to the left and right, wriggling like a dancer's hips seudati, then bowed to a big tree that had been Wet with rain. ***

Lhok Seumawe, April 2012

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
47 Comments