by @ayijufridar |
Pakaian kebanggaan Abah saat ini adalah baju koko putih tanpa kancing dengan sulaman emas bintang di bagian dada. Dia merasa sudah berjodoh dengan baju itu meski menemukannya secara tak sengaja. Saat melintas di pasar tiba-tiba matanya melihat baju koko tergantung. Setelah menanyakan harga, ia langsung membeli tanpa meminta kurang. Dompetnya sedang penuh. Haji Pudin baru saja untung besar setelah mendapatkan proyek membangun sekolah yang dibakar semasa konflik. Itu berarti mereka mendapatkan keuntungan ganda. Ada keuntungan dari tender proyek, juga dari penyediaan bahan baku seperti pasir, batu, atau bata. Hanya semen saja yang tidak mereka produksi sendiri.
Dengan baju koko itulah yang dipadu dengan sarung serta peci hitam bersulam, Abah berniat ke masjid hari Jumat ini. Dia melintas di depan Haji Pudin yang sedang berada di teras belakang rumah sambil mondar-mandir mengelilingi sebuah meja bulat kecil seperti orang linglung. Di atas meja itu terlihat tumpukan kertas dan map.
“Assalammualaikum, Pak Haji…” itu sapaan khas Abah sambil mengangguk dan tersenyum lebar. Giginya yang yang putih menyembul di balik bibirnya yang hitam.
Haji Pudin mendadak berhenti, menyahut salam, menatap Abah dengan sorot tajam. Lantas meledaklah amarahnya seperti biasa. Segala kata-kata makian yang sudah mengakar di ujung lidahnya mengalir deras. Haji Pudin menyebutkan beberapa nama binatang dan mengaitkannya dengan Abah. Dia menuding Abah hanya menghabiskan uangnya saja, menggelari Abah sebagai lintah yang mengisap darahnya, membuatnya lumpuh. “Tapi saat aku bermasalah, kamu sibuk pamer baju baru. Kamu pikir bisa masuk surga dengan baju koko?!”
Sepanjang kata-kata kasar dan menyakitkan itu meluncur, tangannya terus menuding-nuding ke arah Abah. Sebegitu dekatnya telunjuk Haji Pudin sampai nyaris masuk ke dalam lubang hidung Abah. Tapi tak ada sepotong kata pun yang keluar dari bibir Abah. Dia hanya diam, menunduk, kadang-kadang tersenyum kecut, menghela napas panjang, menggulung sarung di balik baju kokonya, atau pura-pura membetulkan letak kopiah yang sesungguhnya sudah bertengger dalam posisi yang benar.
Haji Pudin terdiam beberapa lama. Tapi napasnya masih memburu sambil terus menatap Abah. Masih terdengar beberapa potong makian penutup dari mulutnya yang disampaikan dalam tekanan yang lebih rendah. Setelah napasnya normal, ia mengusir Abah dengan gerakan bibir yang lebih mancung dari hidungnya.
Abah kembali tersenyum dan meninggalkan Haji Pudin yang kini sudah duduk di atas kursi sambil meneliti tumpukan kertas di meja. Setelah sosok Abah lenyap di balik pintu teras belakang, Haji Pudin kembali tenggelam dengan pekerjaannya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia meneliti kata demi kata di atas kertas dari balik kaca matanya.
[Source]:
(
Itu bukan kemarahan yang pertama dan juga bukan yang terakhir. Aneh bagi orang lain tetapi biasa-biasa saja bagi Abah atau bagi orang-orang yang bekerja di perusahaan Haji Pudin. Kalau orang kaya itu marah-marah tanpa sebab, selalu Abah yang menjadi tempat menumpahkan sumpah serapah. Dia akan mengucapkan kata apa pun yang paling menyakitkan, kasar, atau makian yang sudah sangat dihapalnya bahkan ketika dalam tidur sekali pun. Abah akan mendengarkan dengan gelagat seperti biasa, setelah itu dia bisa pergi ke mana saja.
Abah tahu, Haji Pudin tidak marah kepada dirinya, melainkan kepada masalah-masalah yang tidak beres. Kalau uangnya belum cair, dia akan menumpahkannya kepada Abah. Namun setelah dananya masuk ke rekening, tidak pernah lupa ia sisihkan buat Abah. Jumlahnya memang tidak banyak. Dalam kapasitas Abah yang tidak mengerjakan apa pun untuk memberi keuntungan bagi perusahaan, jumlah itu sangat memadai. Gaji Sola, sopir pribadi Haji Pun pun tidak sampai setengahnya penghasilan yang diperoleh Abah setiap bulan. Itu bisa dimaklumi sebab Abah bukanlah karyawan, bukan pesuruh, bukan buruh. Ia adalah sahabat dekat Haji Pudin sejak kecil, pernah sama-sama merantau dan kelaparan di Medan. Semasa muda mereka pernah bekerja sebagai kuli bangunan, kemudian kembali lagi ke kampung dengan sedikit modal. Bukan untuk membuka usaha, melainkan untuk membiayai perjalanan gelap ke Malaysia yang tidak pernah terwujud.
Dengan uang hasil menabung berbulan-bulan, mereka membayar seorang perantara yang berjanji bisa membawa mereka sampai ke Malaysia melalui jalur laut di sebuah pelabuhan kecil di pinggir perairan Selat Malaka. Mereka berangkat malam hari agar tidak dilihat orang. Hampir tujuh jam diguncang ombak sampai keduanya muntah dan tertidur kelelahan.
Paginya, perantara membangunkan karena sudah sampai di sebuah perkampungan di Penang. Perantara mengingatkan mereka agar bersembunyi di balik nyiur agar tak dituduh maling oleh warga sekitar. Itulah yang mereka lakukan sampai matahari terbit dan mereka memutuskan membeli nasi di sebuah warung dengan uang ringgit yang diberikan perantara.
Betapa kagetnya ketika menyadari mereka berada di Pusong, sebuah perkampungan nelayan di Aceh. Mereka tidak dibawa ke Malaysia, tetapi hanya berputar-putar di tengah samudra selama tujuh jam untuk ditelantarkan di sebuah perkampungan nelayan yang letaknya sekitar 20 kilometer dari rumah mereka, di kampung Kayak.
Itu bukan pengalaman pahit pertama yang mereka alami bersama. Banyak pengalaman lain yang membuat mereka tidak mungkin dipisahkan, kendati kerja keras mengantarkan mereka pada nasib berbeda. Haji Pudin berhasil membangun usaha batu bata dan kemudian menjadi kontraktor. Perlahan tapi pasti, ia membangun perusahaannya dari kecil menjadi besar hingga menjadi orang terkaya di kampungnya. Satu-satunya orang kaya sebab kampung Kayak yang terletak di bawah kaki bukit, tidak menyediakan lahan subur untuk ditanami apa pun. Rendahnya pendidikan membuat kehidupan masyarakat semakin terpuruk. Sejak Haji Pudin (waktu itu ia belum berhaji) memiliki usaha batu bata, warga sekampung mulai memiliki pekerjaan tetap sebagai buruh. Ketika usaha itu meningkat, anak muda mulai menjadi sopir truk untuk mengangkat pasir dan batu untuk perusahaan dari pegunungan. Warga kecipratan rezeki Haji Pudin, tak terkecuali Abah yang menjadi orang paling dekat dengan Haji Pudin.
Seiring bertambahnya kekayaan Haji Pudin, bertambah pula beban kerjanya. Dia sering marah-marah tanpa sebab, dan selalu Abah yang menjadi tong sampah tempat menampung sumpah serapahnya. Mulanya, Haji Pudin hanya menjadikan Abah sebagai tempat mengeluh setiap ada masalah. Lama-lama, ketika sedang marah pun ia menumpahkannya kepada Abah yang uniknya tidak pernah keberatan dengan perilaku tersebut. Abah bahkan seperti menikmatinya, seolah itu merupakan bagian dari pekerjaannya. Dia kadang hanya cengengesan ketika dimaki-maki Haji Pudin, tak pernah protes dan tak pernah sakit hati seolah ia dibayar memang untuk itu.
Beberapa anak buah Haji Pudin pernah menanyakan kepada Abah mengapa ia mau merendahkan diri untuk dijadikan tong sampah Haji Pudin. “Sebagai sahabat harusnya ia sayang sama Abah. Bukan malah bikin malu Abah di depan umum.”
“Betul, seharusnya Pak Haji bisa pergi ke psikiater,” sahut karyawan lain. “Dia hanya butuh didengarkan.”
Abah sering menerima saran seperti itu, tapi tak pernah menggubrisnya. Dia justru sayang sama Haji Pudin sehingga siap menerima sumpah serapah dari sahabatnya itu atas kesalahan-kesalahan yang kadang tidak dipahaminya. Justru keberatan dari anak-anaknya yang menjadi beban pikiran Abah. Anak bungsunya yang masih kuliah, karena tidak tahan melihat abahnya menjadi sasaran makian, memilih keluar dari perusahaan Haji Pudin. Abah sudah menjelaskan bahwa segala makian itu tidak keluar dari hati. “Hanya bentuk pelampiasan saja. Setelah itu Haji Pudin pun lupa.”
Si Bungsu tidak mau mendengarkan dan memilih keluar meski sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan di tempat lain. “Kita harus punya harga diri, meski tak punya uang sebanyak Haji Pudin.”
Perkataan itulah yang sering mengganggu pikiran Abah akhir-akhir ini. Dia merasa sudah cukup lama juga menjadi tong sampah bagi sahabatnya itu. Bahkan sebuah tong sampah pun akan penuh ketika dijejali dengan berbagai jenis sampai yang kotor dan bau. Apakah dirinya sudah berubah menjadi tong sampah yang tak pernah penuh?
Setelah berpikir lama, akhirnya Abah mengikuti saran anaknya. Dia memutuskan untuk berhenti menjadi tong sampah bagi Haji Pudin. Sudah bertahun-tahun sejak Haji Pudin menjadi orang kaya, dia menyiapkan telinganya untuk menampung segala jenis kemarahan. Kalau setiap kata kemarahan itu disusun seperti buruh menyusun batu bata, mungkin ketinggiannya sudah menyundul awan. Kini saatnya berhenti demi kehormatan anak-anaknya, barangkali juga demi kehormatannya sendiri.
Abah berpikir tentang kerugiannya. Mungkin setelah berhenti, uangnya tidak sebanyak sebelumnya. Tapi, ia tidak butuh uang sebanyak dulu. Anak-anaknya sudah bekerja, meski yang bungsu masih kuliah dan kebutuhannya akan meningkat menjelang akhir semester. Kakak-kakaknya bisa membantu biaya kuliah sampai selesai. Masalahnya bukan sumber penghasilan mereka setelah berhenti menjadi tong sampah Haji Pudin, tapi bagaimana mengatakannya kepada Haji Pudin. Apakah ia harus menunggu Haji Pudin marah-marah lalu menyampaikan maksudnya, atau langsung saja mengatakan tanpa perlu menunggu kemarahan Haji Pudin? Dia belum menemukan jawabannya ketika melangkah dari rumahnya menuju rumah paling besar dan mewah di kampung Kayak.
Menurut Abah, waktu yang tepat menyampaikan keputusannya adalah pagi hari ketika belum ada beban apa pun di kepala Haji Pudin. Maka setelah sarapan di rumahnya, ia buru-buru ke rumah Haji Pudin. Mereka biasa sarapan bersama, duduk lesehan di gazebo halaman belakang. Bagi keduanya, makan di sana lebih nikmat dibandingkan di meja makan. Biasanya Haji Pudin mengenakan sarung dan baju terakhir yang ia kenakan semalam, apa pun jenis baju itu.
Pagi ini Abah memilih sarapan di rumah sendiri sebab bila menikmati keakraban dengan Haji Pudin, ia khawatir keputusannya akan berubah. Haji Pudin sedang menikmati sarapan di tempat biasa ketika Abah sampai di sana yang langsung menawarinya makan bersama, tapi Abah menolak. Sembari sarapan, Haji Pudin bercerita tentang keadaan perusahaannya belakangan ini.
Dia menyampaikan beberapa kabar baik dan sedikit kabar yang tak terlalu buruk. Cerita itu belum berakhir setelah sarapannya selesai. Abah hanya mendengarkan saja tanpa mengomentari apa pun, seperti biasa. Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk menyela, tapi Haji Pudin bicara tanpa jeda. Ketika Haji Pudin diam untuk menyesap kopinya, Abah langsung bersuara.
“Pak Haji, sebenarnya saya datang ke sini untuk menyampaikan sesuatu.”
“Apa? Butuh uang lagi untuk kuliah anakmu?”
“Saya mau berhenti, enggak kerja di sini lagi.”
Haji Pudin menatap Abah dengan mulut setengah terbuka. Sebelum Abah melanjutkan kata-katanya, meledaklah tawa Haji Pudin. Dua pembantu sampai melongok melalui jendela dapur untuk melihat apa yang terjadi. Setelah tahu Haji Pudin sedang bersama Abah, mereka saling berbisik sebelum kemudian kembali bekerja. Bahkan bila Haji Pudin marah-marah setelah itu, bagi mereka sama sekali tidak menarik.
“Memangnya selama ini kamu kerja di mana? Sebagai apa?” sambung Haji Pudin sambil kembali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat itu, kepala Abah tiba-tiba tegak, bola matanya membesar dan jantungnya berdegup lebih kencang dengan napas memburu.
“Diam kau, Pudin!” teriaknya keras sambil menuding ke arah Haji Pudin dengan telunjuknya. Seketika Haji Pudin terdiam, heran. Belum pulih kekagetannya, Abah sudah memberondong dengan kata-kata yang meluncur bak mitraliur. “Kamu pikir semuanya bisa kau beli dengan uang. Kau ini macam bukan haji saja. Enggak menghargai orang lain. Suka menghina orang lain. Jangankan manusia, binatang pun tak pantas kau maki seperti itu…!”
Muntahan sumpah serapah Abah menggelegar mengejutkan para pelayan di dapur. Ketika melihat tangan Abah menuding-nuding ke wajah Haji Pudin, mereka saling berbisik dengan kening berkerut. Para pekerja lain yang mendengar teriakan kemudian ikut mengintip dari balik kaca jendela. Mereka menyaksikan pemandangan itu dengan rasa penasaran dan mengabaikan pekerjaan yang harus dituntaskan.[]
Lhok Seumawe, Mei 2013
design by @jodipamungkas