Cerita Saya tentang Anak Nelayan Yang Sombong

Apakabar semuanya?

Semoga saja rekan-rekan steemian dalam kondisi sehat selalu. Saya ingin mengucapkan selamat menikmati akhir pekan. Sambil mengisi waktu libur anda saya ingin berbagi cerita tentang anak durhaka, Ahmad Rhang Manyang. Selamat membaca...!


pexels-quang-nguyen-vinh-6875186.jpg
Photo by Quang Nguyen Vinh


Di sebuah kampung pinggiran pantai, kehidupan damai ala nelayan. Kegiatan mereka sehari-hari melaut. Menjala ikan. Lalu dipasarkan. Tidak semua kampung pantai itu memilih jadi pelaut alias nelayan. Ada juga di antara mereka yang menjadi pedagang, petani hingga pegawai pemerintahan.

Kehidupan laut yang keras membuat mereka terbiasa hidup tak menentu. Seperti gelombang laut. Kebanyakan dari nelayan ini hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan membuat mereka hidup serba kekurangan.

"Aku tak ingin hidup miskin lagi," teriak Ahmad dengan lantang kepada ibunya dengan nada sarkas.

Sang ibu hanya bisa mengurut dada. Lalu dia mendiamkan anak semata wayangnya. Halimah meratapi nasib tak baik, apalagi setelah suaminya meninggal di laut. Kapal yang dia tumpangi karam di laut lepas. Halimah sendirian menghidupi Ahmad, si anak yang selalu dipenuhi rasa penasaran. Ahmad punya ciri khusus, daun telinga kiri terputus sedikit.

Itu terjadi saat dia masih kecil. Kala itu dia dibawa ayahnya mencari gurita dan kepiting saat laut sedang surut. Ketika itu, Ahmad terpeleset yang menyebakan daun telinga terluka terkena tebasan karang laut. Tiga bulan kemudian ayahnya pergi.

Saat Kasem meninggal, Ahmad masih lima tahun. Tak terasa sudah 15 tahun Halimah mendidik Ahmad sendirian. Menjadi buruh kapal yang lego jangkar di dermaga. Ia berkerja membantu para nakhoda kapal memasak, mencuci dan lainnya.

Dari sinilah, Ahmad menjadi banyak kenal dengan anak buah kapal, hingga nakhoda kapal. Rata-rata mereka senang dengan Ahmad yang rajin dan telaten. Dari di sini, ia bertekad ikut merantau ikut dengan kapal-kapal yan biasa bertengger di pelabuhan, dekat kampungnya.

Keinginan itu kembali diutarakan kepada ibunya. Namun, sang ibu acapkali melarang. Makin di larang, makin kuat niat Ahmad untuk pergi ke seberang. Akhirnya, Halimah luruh. Ia tak kuasa lagi mendengar rengekan Ahmad.

"Kalau memang kamu ingin merantau, sekarang emak izinkan," ujar Halimah dengan mata sembab.

pexels-roman-odintsov-5327884.jpg
Photo by ROMAN ODINTSOV

Ia tak ingin kehilangan anak semata wayang. Dia tahu, kehidupan laut berat. Suaminya juga meninggal di luat. Hingga sekarang tak tahu di mana pusaranya. Karena itu, ia ingin menjaga Ahmad dengan baik, agar dia menjadi orang sukses di masa depan.

Ternyata ketika Ahmad beranjak remaja, dia kembali mengutarakan niatnya untuk merantau. "Saya tak ingin hidup selalu miskin, saya ingin merantau ke negeri seberang," ucap Ahmad penuh tekad. Ia kembali mengulang setelah melihat sebuah kapal mulai merapat ke dermaga.

Biasanya, kapal ini bersandar selama tiga sampai lima hari. Setelah selesai bongkar muat di dermaga, kapal tersebut akhirnya tarik jangkar. Ingin berlayar lagi. Kali Ahmad pun ikut serta. Orang tuanya ikut mengantar Ahmad ke dermaga. Ia ikut membawa bungkusan sebagai bekal Ahmad di perjalanan.

Dua puluh lima tahun kemudian

Sebuah kapal merapat ke dermaga. Ini mewah ini milik seorang saudagar kaya dari negeri seberang. Seperti biasa, Halimah selalu mendekat untuk mencari pekerjaan yang bisa di lakukan saat kapan merapat. Kapal mewah ini sangat berbeda. Hanya anak buah kapal yang lalu lalang di geladak. Tapi semua penumpang tak kunjung turun.

Setelah dua hari bersandar, akhirnya, sudah mulai ada tanda-tanda kapal membuka diri. Penumpang mulai turun satu per satu. Mereka berbelanja dan keliling dermaga yang dekat dengan pergunungan. Pemandangannya cukup indah dengan hamparan pasar putih.

Di antara penjual tersebut ada Nek Halimah yang sudah cukup renta. Matanya selalu menatap penuh rindu kepada setiap kapal yang singgah. Kali ini dia juga begitu. Dia sudah bertahun-tahun menunggu sang anak pulang. "Ahmad di mana kamu nak, kapan kamu pulang," Halimah membatin.

Ia sangat yakin, hari ini anak yang sudah puluhan tahun ditunggu akan pulang. Perasaannya bicara begitu. "Awas-awas, buka jalan, bos besar mau lewat," teriakan kasar dari belasan pria berbadan tegap yang sedang mengawal seorang pengusaha.

pexels-faruk-tokluoğlu-9141319.jpg
Photo by Faruk Tokluoğlu

Ia terlihat sangat gagah. Di samping seorang wanita cantik menggandeng tangannya. Dari busananya yang mewah, terlihat mereka seperti kalangan bangsawan. Kehadiran rombongan ini mengundang banyak perhatian banyak orang, termasuk Halimah.

Rasa penasaran membuatnya melangkah, menerobos kerumunan. Saat matanya sekilas melihat ke pasangan itu, perasaannya sulit diungkapkan. Melihat cara jalan, ia sangat yakin kalau pasangan di depan anaknya. Makin mendekat makin yakin. Secara refleks dia bergumam, Ahmad anakku.

Meski samar, pria bangsawan itu masih bisa mendengar samar. Seketika dia berhenti. Matanya melihat sekeliling. Ia baru berhenti mencari-cari setelah perempuan di sisinya meminta dia untuk terus berjalan. "Ape yang nak dicari hon...," ujar dia dalam logat bahasa negeri seberang.

"Tak ape, sepertinya suaranya sama...," pria itu membatin. Lalu mukanya berbalik sejenak dan langsung melangkah lagi. Saat itu, perempuan renta yang tadi memanggail Ahmad anakku melihat ke arah kuping kiri pria tadi. Hatinya sudah sangat yakin. Akhirnya dia berteriak dengan keras, "Ahmad anakku, ibumu di sini nak....," ujar Halimah dengan cepat menerobos barisan pengawal.

Begitu tiba di depan pria necis tersebut, Halimah langsung bercakap-cakap. "Ini ibumu nak..." Namun, seketika perempuan cantik di samping pria necis itu mengusir dengan kasar wanita renta itu. Kontan, Halimah tersungkur. Tubuh rentanya seakan copot.

"Siapa kamu. Saya tidak kenal anda. Orang tuan saya sudah lama meninggal. Jangan ganggu saya," timpal pria yang ternyata bernama Ahmad itu. Dia pun ikut-ikutan istrinya dengan kasar menendang Halimah. Wanita tua itu pun makin sakit. Lalu para pengawal dengan kasar menarik Halimah.

Setelah itu, Ahmad dan isterinya meminta para pengawal balik ke kapal dan kembali berlayar. Dia takut, ibunya yang sudah renta kembali. Ia tak ingin mengakui ibunya yang sudah bau tanah. Takut dengan isteri cantiknya. Sebab, saat mempersunting putri jutawan di negeri seberang, ia mengaku sudah yatim piatu.

pexels-thanos-metallinos-14572750.jpg
Photo by Thanos Metallinos

Karena kebaikan sang mertua, dalam puluhan tahun menjadi pengusaha sukses yang disegani. Seketika, sirene kapal berbunyi. Pertanda akan segera berangkat. Ahmad merasa sangat malu, sehingga tak ingin berlama-lama berlabuh di kampungnya. Kapal pun berangkat.

Sebelum kapal, berangkat, bunya, Halimah berlari hingga ke ujung dermaga meneriakkan nama anaknya. Namun, ia tahan pihak syahbandar. "Kenapa kamu menjadi seperti ini nak...," ucapnya dengan linangan air mata. Masa-masa kecil di kampung hingga menjelang berangkat merantau melintas di bayangannya.

Air matanya makin deras keluar. Rasa sakit sudah tak dia hiraukan lagi. Dengan langkah berat dia pun memutar arah. Sebelum dia pergi, dia sempat bergumam. "Kamu sudah menjadi anak durhaka, pasti tak akan selamat ...," suaranya makin serak dan nyaris tak terdengar lagi apa yang diucapkan.

Namun, sejurus kemudian cuaca mendung naik, hujan pun mulai mengguyur. Tak lama kemudian badai di laut pun muncul. Gelombang laut sangat kuat. Sehingga banyak perahu yang terbalik. Mereka yang ada di darat juga mulai panik, apalagi menatap kapal yang barusan berlayar mulai kesulitan melewati badai.

Satu jam kemudian, Halimah mendapat kabar, kapal yang membawa anaknya dan isterinya sudah karam. Di dekat lokasi kapal sudah muncul gunungan karang yang benar-benar menyerupai bentuk kapal. Pada sisi lain, sebuah batu karena seperti bentuk orang sedang menatap ke daratan. Melihat bentuknya seperti bentuk Ahmad yang durhaka sama orang tuanya.

Pesan yang diambil dari cerita ini adalah, jangan durhaka kepada orang tua, saat kamu sudah sukses. Meskipun orang tuamu sudah renta dan bau tanah, kamu harus menghormati dan menyayanginya. Terima kasih sudah membaca postingan saya.


Thanks to Steemian friends and the Steemit Team who always support me. I really appreciate it.

Regards @Munaa

10/9/2023

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
6 Comments