Si vis pacem, para bellum (Jika kau mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang) - Peribahasa Latin.
AGUSTUS merupakan bulan yang penuh sejarah bagi Aceh, bagi bangsa Indonesia, bagi organisasi yang saya banggakan, dan bagi saya sendiri.
Bagi Indonesia, 17 Agustus merupakan hari Proklamasi Kemerdekaan yang tahun 2017 ini merupakan yang ke-72. Sehari setelah peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, saya merayakan ulang tahun ke-45. Pekan pekan atau 7 Agustus, Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) merayakan ulang tahun ke-23. Ini adalah organisasi profesi tempat saya belajar mengelola sebuah organisasi.
Dua hari sebelum peringatan Kemerdekaan atau tepatnya pada 15 Agustus, Aceh memeringati 12 tahun perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.
Dua belas tahun merupakan waktu yang panjang untuk merawat perdamaian di daerah bekas konflik bersenjata. Berbagai elemen di Aceh, mantan gerilyawan GAM, Tentara Nasional Indonesia dan Polri, kelompok sipil, pemerintah, NGO, termasuk jurnalis, berupaya merawat perdamaian sesuai kapasitas masing-masing. Semuanya berharap payung damai senantiasa menaungi Bumi Aceh, Bumi Serambi Mekkah.
Di bulan Agustus, memori saya terseret beberap tahun ke belakang di Lapangan Merdeka, Lhokseumawe, ketika markas Korem 011/Lilawangsa menggelar kampanye perdamaian Aceh dengan berbagai atraksi seni dan budaya, termasuk debus.
Seni debus yang diiringi tabuhan rapai (alat musik pukul tradisional). Pagelaran seni ini memang membutuhkan kekuatan mental penontonnya karena sangat memicu adrenalin, penuh dengan adegan kekerasan. Namun, debus bukan pertunjukan kekerasan. Dia acara seni, unjuk kekebalan tubuh terhadp senjata tajam yang diiringi tabuhan musik.
Dari beberapa referensi, debus disebutkan berasal darii Banten, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Seni ini bisa dimainkan laki-laki atau perempuan, meski lebih banyak lelaki. Salah satu pemain debus yang saya kenal dekat adalah Yun Casalona (almarhum), yang juga seorang penyair. Dalam sosialisasi damai MoU Helsinki di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, saya merekam aksi Bang Yun, sapaan akrabnya. Penyair debus yang bernama asli Yun Anizas ini sering tampil di berbagai acara. Ia memodifikasi debus Aceh dengan kreatif melalui iringan musik rock, sehingga penyair Fikar W Eda menyebutnya sebagai pelopor debus rock.
Pelopor debus rock yang juga penyair, Yun Casalona, ketika tampil di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, untuk mengkampanyekan Perdamaian Aceh, tahun 2007.
Photo by @ayijufridar
Tema tulisan ini memang bukan debus, melainkan tentang perdamaian Aceh yang terus mendapat tantangannya untuk dirawat agar lestari. Seni debus adalah salah satu media kampanye perdamaian. Tentu saja banyak jalan lain untuk merawat perdamaian, termasuk dengan menulis di berbagai media, seperti di Steemit ini.
Perdamaian Aceh lahir dari konflik yang panjang dan berdarah-darah. banyak korban berjatuhan, baik korban jiwa, harta benda, gedung, dan rusaknya pranata sosial. Anak-anak menjadi yatim, istri kehilangan suami, suami kehilangan istri, sahabat pergi dengan cara menyedihkan. Begitu banyak darah dan air mata tumpah. Pendidikan mandeg karena banyak rumah sekolah terbakar, gedung dan fasilitas publik lainnya juga terbakar. Di daerah konflik asa pun ikut hangus. Kebenaran sulit diperoleh sebab seperti kata orang bijak, kebenaran adalah korban pertama dalam setiap peperangan. Kita tidak harus bersalah, tapi bisa menjadi korban karena berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.
Dengan kondisi seperti itu, wajar saja bila rakyat Aceh dan rakyat Indonesia bersyukur dengan adanya perjanjian damai yang sudah berjalan selusin tahun. Bahkan, resolusi konflik ala Aceh ini menjadi referensi di banyak negara yang dilanda konflik bersenjata.
Memang masih banyak harapan yang belum terpenuhi sesuai MoU Helsinki. Namun itu bukan alasan untuk mencoreng perdamaian. Damai ini terlalu bernilai untuk ditukar dengan apa pun dan demi apa pun. Damai ini untuk kita bersama, untuk Aceh yang lebih bermartabat, untuk Indonesia yang lebih indah, dan untuk dunia yang lebih terarah.
Nikmati debusnya, jaga damainya untuk hari ini, esok, dan selamanya.[]
English:
12 Years Keeping for Aceh Peace
Si vis pacem, para bellum (If you crave peace, prepare for war) - Latin proverb.
AUGUST is a historic month for Aceh, for the Indonesian nation, for the organization I am proud of, and for myself.
For Indonesia, August 17 is the day of the Proclamation of Independence which in 2017 is the 72nd. The day after the anniversary of Independence Day of the Republic of Indonesia, I celebrated my 45th birthday. Week weekend or August 7, Alliance of Indepeden Journalists (AJI) celebrates its 23rd anniversary. This is a professional organization where I learn to manage an organization.
Two days before the Independence anniversary or precisely on August 15, Aceh commemorated 12 years of peace agreement between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement in Helsinki, Finland.
Twelve years is a long time to take care of peace in the former armed conflict area. Various elements in Aceh, former GAM guerrillas, the Indonesian National Army (TNI) and Police (Polri), civilian groups, governments, NGOs, including journalists, seek to maintain peace according to their respective capacities. All hope the peace umbrella always shade Aceh earth, Earth Veranda of Mecca.
In August, my memory was dragged back a few years back at Lapangan Merdeka, Lhokseumawe, when the Korem 011 / Lilawangsa headquarters held an Aceh peace campaign with various arts and cultural attractions, including debus.
The art of debus accompanied by a beat of rapai (traditional musical instrument). This art performance does require the mental strength of the audience because it is very adrenaline trigger, filled with violent scenes. However, debus is not a violent performance. He's an art show, a show of immunity against sharp weapons accompanied by music.
Of the several references, debus mentioned comes from Banten, Aceh, North Sumatra, and West Sumatra. This art can be played by men or women, although more men. One of the debus players I know close is Yun Casalona (deceased), who is also a poet. In a peaceful dissemination of the Helsinki MoU at Hiraq Square, Lhokseumawe, I recorded the action of Bang Yun, his familiar greeting. Poet poet whose original name Yun Anizas is often performed at various events. He modified the Aceh debus creatively through the accompaniment of rock music, so the poet Fikar W Eda called it a pioneer of rock debus.
The theme of this article is not debus, but about the peace of Aceh which continues to be challenged to be treated for sustainable. Debus art is one of the media of peace campaign. Of course there are many other ways to care for peace, including by writing in various media, such as in this Steemit.
Peace Aceh is born from a long and bloody conflict. Many victims fell, both casualties, property, buildings, and the destruction of social institutions. Children become orphans, wives lose husbands, husbands lose wives, friends go in a pathetic way. So much blood and tears spilled. Education is stagnant because many burning school houses, buildings and other public facilities are also on fire. In areas of conflict are also charred. Truth is hard to obtain because as the wise man says, truth is the first sacrifice in every battle. We do not have to be guilty, but we can become victims because we are in the wrong place at the wrong time.
With such conditions, it is only natural that the people of Aceh and the people of Indonesia are grateful for the peace agreement that has been running for a dozen years. In fact, the Aceh-style conflict resolution is a reference in many countries that have been hit by armed conflict.
There are still many unfulfilled expectations under the Helsinki MoU. But that is not a reason for tarnished peace. This peace is too valuable to be exchanged for anything and for anything. This peace is for us together, for a more dignified Aceh, for a more beautiful Indonesia, and for a more purposeful world.
Enjoy the debus, keep it peaceful for today, tomorrow, and forever. []
Photos by @ayijufridar