Omong Kosong Steemit dan Kekonyolan para Kuratornya

image

Seorang teman yang sudah lebih dulu main di steemit, menceramahi orang-orang tentang kiat-kiat menjadi steemian. Orang-orang ini adalah kawan-kawannya, mereka datang sebagai pemula yang ingin belajar menggunakan steemit. Khotbahnya panjang lebar sekali, melebihi ocehan sales dari perusahaan-perusahaan marketing. Pengetahuannya tentang cara kerja platform media ini telah membuatnya bersikap seperti mahaguru yang ilmunya seperti terlalu amat bernilai untuk diturunkan kepada siapapun. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ditanggapinya dengan sinis, tak kurang kadang juga dibarengi dengan hardikan-hardikan kasar sambil menertawakan kebodohan kawan-kawannya, yang tentu saja telah menjadi ciri khas setiap leluconnya selama ini.

Namun rasanya itu bukan muqaddimah yang baik untuk tulisan ini. Kalian mungkin belum menangkap konteksnya. Jadi abaikan saja pembuka tadi dan mari kita bicara lebih serius dari awal.

Kata seorang terduga kurator, steemit ini adalah media sosial. Dalam artian, lebih sosialis dari media sosial manapun. Ini media yang tepat untuk berkarya, bersilaturrahmi dan berbagi.

Bayangkan, jika di media sosial lainnya keuntungan yang didapat oleh pengguna tok hanya berupa pada keuntungan imaji atau ilusi saja seperti Like, Komentar dan share - meski ketiga-tiga instrumen itu bisa mengantarkan si pengguna menjadi populer, dan populer tentu saja mendatangkan pundi-pundi rupiah-. Namun Pada saat yang bersamaan, sebenarnya hanya pemilik media ini saja yang mendapatkan keuntungan yang lebih nyata dari hasil eksploitasi ilusi para penggunanya. Jadi kesimpulan sederhananya, setiap pengguna hanya dikasih keuntungan khayali belaka sementara si pemilik mendapat keuntungan riil. Begitulah khotbah sang kurator steemit di hadapan beberapa laki-laki pengangguran yang menyimak setiap kata-katanya dengan kekhidmatan yang tak terbayangkan.

Kalian, di media sosial lainnya hanya akan menjadi sampah, setiap tulisan kalian akan dihargai sebagai sampah. Berbeda dengan di steemit dimana setiap orang diapresiasi atas setiap postingannya dengan syarat karyanya harus orisinil. Dan atas karya itu, kalian akan mendapatkan vote. Setiap orang yang memberikan vote berarti telah ikut mengantarkan karya kalian untuk dibayar dengan uang digital, yang tentu saja bisa kalian cairkan dengan rupiah. Sederhananya, steemit itu sudi berbagi duit. Begitulah sang terduga kurator ini menutup ceramahnya dengan tingkat kepedean yang luar biasa.

image
(Saat memandu acara peluncuran buku Judul di Belakang di Komunitas Kanot Bu dengan @mariska.lubis sebagai salah satu pembicaranya)

Jadi daya tarik Steemit ini sesungguhnya, hanya satu, yaitu materi. Tak lebih. Meski dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh beberapa chapter, para kuratornya seperti @mariska.lubis dan @Levycore mengatakan, Steemit melahirkan persaudaraan, menyambung silaturrahmi. Akan tetapi mohon maaf, walau terdengar menjijikkan, harus kukatakan bahwa Steemit malah menghilangkan wujud manusia sebagai makhluk sosial. Temanku, mulai bermurung durja, bermuka masam saat berpapasan, hanya karena aku tak pernah vote tulisannya. Dan percayalah memprovokasi media ini sebagai media yang lebih mulia dari platform media lain adalah sebedebah bedebahnya kebejatan.

Si teman ini menganggap, sebagai steemian junior, yang banyak mengeruk ilmu seputar dunia Steemit darinya, aku mesti tau diri, harus menjadi followersnya, yang harus bersetia memberikan dia vote atau mengembik meminta dia memberikan vote.

Disinilah letak persoalannya, Steemit mengubah seorang steemian pemula menjadi pengemis, minimal pengemis vote. Membuatnya menjadi serupa domba tersesat. Dan kadangkala Steemian senior menikmati itu pula. Pemain lama ini berubah menjadi berhala baru. Nama-nama mereka disebut dan ditags dalam berbagai tulisan. Mendapatkan followers yang luar biasa banyaknya. Lalu tulisan-tulisan tengik mereka, atau postingan menjijikkan mereka yang serupa gadis alay di instagram itu divote dengan kesetanan oleh banyak Steemian pemula. Dan piramida ini terus tumbuh, hingga melahirkan Steemian-steemian baru lainnya yang mendambakan vote dari para berhala raksasa Steemit. Dan ini, seperti kata Nietzsche pola yang sempurna untuk membentuk mentalitas budak (yang cenderung berharap pada orang lain untuk memperoleh kebahagiaan; vote).

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
139 Comments