Sesaat Bersama Tukang Ojek Lulusan SRI

IMG_20180127_171514.jpg

Selepas bertemu seorang teman di sebuah warkop di Kota Bireuen, saya memilih menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Tujuannya memang hendak mencari kendaraan umum. Namun karena berniat hendak "berolahraga" sekitar 100 meter, saya pun memilih untuk tidak menyetop ojek. Namun baru saja melangkah tujuh meter, seorang lelaki tua dengan tampilan kumal memanggil.

"Mau kemana? Mau naik RBT?"

Dua kali dia bertanya, saya tidak menjawab. Namun pada tanyanya yang ketiga, rasa iba pun muncul. Saya pun mengangguk. "Ke Teupin Mane, berapa?" tanya saya. Ia menyebut angka. Saya pun sepakat.

Saya tanya helem untuk penumpang. Dia tidak punya. Dia berdalih polisi tidak akan menilang RBT (istilah untuk ojek di Aceh). Kemudian saya hendak meletakkan kaki di sandaran. Eh, sandaran kaki pun tak sempurna. Oh God!

Tukang ojek pun mengengkol sepeda motor bebek yang sudah uzur itu. Sekali engkol langsung nyala. Cespleng!

Tak ada yang mewah dari tampilan motor keluaran 2000-an itu. Ketika motor itu melaju, saya merasakan getaran yang tidak wajar. Velg motor itu sudah oleng. Alhamdulillah, walau secara tampilan, ojek itu kumal, tapi aroma sopirnya masih cukup nyaman. Ia tidak bau, walau juga tidak wangi.

Tukang ojek itu bernama Sofyan. Usianya sudah 72 tahun. Lelaki kelahiran Gampong Meunasah Dayah, Kota Juang, Bireuen itu kini menetap di Cot Unoe, Kecamatan Kuala. Baru setahun menikah lagi dengan gadis desa yang berusia 40 tahun. Ia sempat menduda selama enam tahun, karena istri tercintanya meninggal dunia.

Kepada saya, Sofyan bercerita bahwa dia lulusan Sekolah Rendah Islam (SRI) Cot Keutapang. Ketika ia sekolah Aceh bergolak oleh perlawanan Darul Islam (DI/TII) yang dipimpin oleh Abu Dawoed Bereueh. Karena konflik itulah, sekolahnya sempat terganggu. Pun demikian ia pun terus berjuang untuk bersekolah. Walau pada akhirnya hanya mampu lulus setara SD. Ia tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Sofyan pun kemudian berdiwana ke sana kemari dan sampailah ia menjadi sopir bus PMTOH (bus Aceh yang elit di masanya) jurusan Medan-Tapaktuan. Efek dari pekerjaan ini, ia hanya bisa berjumpa istrinya sebulan sekali, durasi bertemu pun sangat singkat, terkadang hanya dua jam dalam satu bulan.

"Lintas barat dulu tidak sebagus sekarang. Tidak ada jembatan. Ketika berpapasan dengan sungai, bus harus diangkut dengan getek. Penumpang yang berani tak mau turun dari mobil. Padahal sudah saya ingatkan tentang resikonya. Alhamdulillah, sampai saya mundur dari sopir, tidak ada musibah," ujarnya.

Sofyan memulai sebagai tukang ojek sekitar tahun 2009. Dia sudah tak ingin jauh dari rumah. Usia dan fisik menjadi alasan, selain itu dia juga tidak ingin kehilangan waktu bersama keluarga. "Istri pertama saya membesarkan anak-anak sendirian. Kalau saya ingat itu, tentu sedih sekali. Kehidupan saya terus di dalam bus. Alhamdulillah, saya tidak nakal dan itu menyelamatkan saya. Tapi waktu tidak bisa diputar," katanya.

Dalam sehari rata-rata Sofyan bisa membawa pulang uang 70.000, belum potong biaya bensin. Dia mangkal di Kota Bireuen seusai subuh hingga pukul 10.00 WIB. Kemudian pulang. Seusai shalat asar kembali beroperasi dan berhenti magrib.

"Alhamdulillah cukup untuk membiayai keluarga baru saya. Saya menikah dengan gadis desa. Anak-anak saya menyarankan agar saya menikah lagi, saya setuju dan alhamdulillah bahagia," katanya.

Ketika saya minta saran, ia mengatakan " Jangan buang-buang waktu. Kami yang sudah tergilas zaman tidak kuasa kembali. Silahkan terjemahkan sendiri pesan saya, karena saya pun tak pandai menjelaskan. Itu pesan saya, jangan buang-buang waktu."

Roda motor tua nan rapuh itu terus mengaspal di jalan Bireuen-Takengon. Kami berhenti di depan rumah ibu saya di Gampong Teupin Mane. "Saat jembatan itu putus, saya baru sampai di sini, alhamdulillah, jembatan itu rubuh ketika saya belum menyeberang," katanya sembari menunjuk arah. Saya pun tersenyum. Ternyata ia menyimpan kenangan tentang bekas jalan raya di depan rumah tempat saya dilahirkan.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
13 Comments