Manajemen Birokrasi di Republik Ketidakpercayaan

Entah sudah berapa tahun aku berhenti berharap pada birokrasi Indonesia. Sebab, jumlah kekecewaan acap berkalilipat dari harapan yang kugantungkan. Namun, ternyata sudah ada perubahan yang lebih baik saat aku mengurus surat keterangan untuk membuat KTP baru. Beberapa bulan lalu KTP-ku hilang. Baru pagi tadi kuluangkan waktu untuk membuat gantinya. Minggu lalu telah kuajukan permohonan kepada sekretaris desa untuk memberi surat keterangan kehilangan. Berdasarkan surat tersebut, aku harus menuju ke kepolisian sektor di wilayah administratif dalam yurisdiksi Kecamatan Kebayakan. Hingga urusan di Kantor Polsek Kota Takengon, proses pengurusan berjalan wajar, tak ada pungli serupiahpun.

Aku menanti proses pembuatan surat di Kantor Polsek Kota Takengon sambil menonton film Van Helsing dari layar televisi LED 30 inchi di ruang tunggu. Kunanti petugas administrasi mengetik surat dan mencatatkan nomor administrasi ke sebuah buku selebar laptop. Tatapku kokoh-terpacak pada layar kaca, sekedar menipu pikiran agar tak jenuh menanti belasan menit proses kelahiran surat yang padanya kutambatkan nasib pembuatan tanda kewarganegaraanku. Saluran televisi masih menampilkan film pertama yang membuatku mengidolakan Hugh Jackman.

Aroma dan aura Polisi tidaklah asing bagiku. Bukan sebagai kriminal, melainkan pernah tinggal dalam asuhan dan didikan Kakak Bapakku yang bersuami Polisi; Almarhum Zakaria Deyyasir, pendidik kedisiplinanku yang menutup karir dengan pangkat Mayor Polisi. Meski 2 tahun berada dalam asuhannya, aku tetap merasa risih saat memasuki lingkungan Bhayangkara. Setelah kupikir lagi, konflik telah menjejakkan kesan seram pada institusi yang secara tak langsung turut berjasa membesarkanku.

Sambil menyaksikan adegan pertarungan Van Helsing dengan Trio Vampirwati istri Count Dracula di Transylvania, ekor mataku menangkap sosok Bu Sumiyatun keluar dari ruang kerjanya sembari menelpon seseorang. Perempuan berpangkat Inspektur Polisi Satu itu adalah Kapolsek Kota Takengon yang baru beberapa bulan menduduki jabatan tersebut. Kami pernah bertemu di terminal labi-labi Paya Tumpi Baru saat terjadi bentrokan antara remaja-pengguna-medsos Bener Meriah dengan rekan sebaya mereka di Aceh Tengah sepekan silam. Waktu itu, Iptu Sumiyatun tengah mengkoordinasi anggotanya menjaga wilayah perbatasan kedua kabupaten. Sebab, beredar kabar akan terjadi bentrok susulan dari kedua kubu.

Aku bersama Ricky Arasendi berpamitan saat surat usai diketik oleh seorang perempuan yang bukan Polisi di bagian administrasi. Seorang lelaki berseragam polisi yang belakangan kuketahui berpangkat Aipda dan bernama Akbari menyerahkan surat bersampul sewarnya jerami padi yang usai dipanen. Terimakasih kuucapkan padanya. Kami berdua lantas menuju Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan kreta-ku yang sebelumnya berparkir di pelataran Café Kenary. Café yang tersohor dengan produk manual-brew bermerk Kopi Mane.

Jarak parkir kendaraanku dengan Kantor Polsek Kota Takengon 2 tiang listrik. Bukanlah perilaku pemarkiranku tak bersebab. Kendaraan yang selama ini setia mengantarku ke setiap tujuan itu memiliki semua syarat untuk mengalami penilangan. Knalpot blong, kaca spion tiada, surat kendaraan entah kemana, body-nyapun telah compang-camping pula. Memarkirnya di pelataran kantor Polsek sepertinya bakal mempersilahkan masalah memasuki pintu hidupku.

Tungganganku itu punya cukup tampang dan syarat untuk disejajarkan dengan para pelaku kriminal kelas teri yang sangar, bertato, perut mulai membuncit, rambut gondrong dan beberapa codet menghias paras. Namun, ‘ia’ pula yang selama ini menjadi patriotku dalam memangkas waktu saat menempuh jarak. Nah… kondisi kudabesiku itu masih bertambah dengan ketiadaan SIM pada Sang Tuan. Kupikir, selain status sebagai perokok, aku tak punya wujud kontribusi apapun bagi republik yang menaungi Nusantara ini.

Sungguh aku tak punya alasan untuk mengeluh dan bernyiyir-ria mengomentari kondisi Pertiwi. Ya. Aku terlalu brutal sebagai warga, sehingga layak sungguh jika tak punya hak untuk mengomentari jalannya pemerintahan. Kutuliskan senarai ini bukan untuk mengeluh, melainkan menertawakan betapa saling-takpercayanya para birokrat dalam mengelola administrasi. Semua bermula saat aku dan Ricky tiba di kantor Disdukcapil Aceh Tengah. Kerumunan insan memadati tiap loket dengan segala tetek-bengek urusan perkertasan.

Tiba giliranku, pegawai menerima laporan, “Mau urus KTP yang hilang, Bang…” ujar Ricky yang berhasil menyelinap di antara kerumunan. Kami berbaris di 2 lini terpisah untuk mengakali kerubungan manusia di hadapan loket. Tak ada sistem antrean sehingga terjadilah peristiwa, ‘Siapa nyelip dia dapat’. Aku tak tega menyelinap, hingga Ricky berhasil mencuri momentum di antara gerombolan warga. “Fotokopi KK-nya mana?” ujar sang pegawai menanggapi sodoran surat dari Ricky dengan bertanya. Ricky-pun melangkah ke arahku melaporkan hasil. Aku menunjukkan wajah malas. Sebab, tak ada penjelasan mengenai keharusan membawa fotokopi KK saat di kantor desa.

Otakku langsung usil. Bukan sebab kesal, lebih karena keterbatasan stok bensin dalam tangki kreta-ku dan fulus yang menipis di dalam saku. Bolak-balik mengurus surat bakal menguras bensin lagi. Sementara, pelanggan yang tengah memesan kopi belum mentransfer dana ke rekeningku. “Besok ajalah kita balek,” ujarku pada Ricky.

Setelah kupikir makin dalam, persyaratan yang kuhadapi di kantor Disdukcapil sungguh menunjukkan ketidakpercayaan antar-struktur-birokrasi di republik ini. Desa telah mengeluarkan surat keterangan kehilangan berdasarkan laporanku yang menggunakan KK sebagai acuan, lantas Polsek setempat menerbitkan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan berlandaskan surat terbitan desa atas permohonanku. Mengapa Disdukcapil masih membutuhkan fotokopi KK-ku untuk menjadi azas penerbitan KTP pengganti?

IMG-20171030-WA0001 - Copy.jpgMari kita sebut mekanisme ini sebagai manajemen ketidakpercayaan dalam pengertian positif. Maksudku begini, ketidakpercayaan dalam birokrasi adalah keharusan untuk merunut ‘sanad’ identitas seseorang. Disdukcapil tak ‘kan percaya jika aku datang langsung membawa laporan kehilangan KTP tanpa surat keterangan dari kepolisian sektor dalam yurisdiksi tertentu; kepolisian sektor tak ‘kan menerbitkan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan tanpa ada penjelasan berupa sepucuk surat keterangan kehilangan yang diterbitkan aparatur desa tempat tinggalku; aparatur desaku tak ‘kan percaya saat aku mengajukan permohonan surat keterangan kehilangan KTP jika aku tak memiliki KK dalam wilayah administrasinya.

Aku bisa menerima runutan birokrasi pada paragraf sebelumnya. Namun, sulit kuterima jika aku kembali berhadapan dengan kemestian membawa KK (yang notabene tak dijelaskan oleh struktur birokrasi sebelum tiba di Disdukcapil) demi menerbitkan KTP pengganti untukku. Itu berarti, Disdukcapil tak percaya pada surat yang berasal dari Polsek, yang dilandasi oleh surat yang berasal dari desa, yang mengacu pada laporan kehilanganku, yang berazas pada KK-ku yang diterbitkan oleh negara ini. Jadi, Disdukcapil telah tidak mempercayai negara, struktur paling berkuasa yang menaunginya.

Sekali lagi, ini bukan bentuk kemarahanku, tapi pengganti ekspresi yang menertawai birokrasi republik ini hingga terkentut-kentut, Sodara-Sodari se-Nusantara…

Jika kita pikir bersama, keberpihakan birokrasi semacam ini tak lebih jauh dari kepentingan para pemilik mesin fotokopi, pengusaha tinta dan kertas semata. Bukannya mereka tak boleh menuai laba… namun, kupikir lebih elok memangkas sedikit lagi ketidakefektifan penggunaan kertas, dengan meningkatkan kepercayaan pada surat yang telah diterbitkan sebelum menempuh jenjang proses di tahap dan institusi terakhir. Setidaknya, penggunaan kertas bisa berkurang, jumlah biaya pengurusan surat bagi warga bisa semakin hemat dan waktu yang dipergunakan bisa lebih efektif.

Entah mengapa, benakku membayangkan seandainya ada warga lain dari pelosok Aceh Tengah yang mengurus surat-entah-apa ke Takengon dan lupa membawa fotokopi KK. Sebagai ilustrasi, titik terjauh kawasan Aceh Tengah berkisar antara 90-100 kilometer. Namun, menurut pengamatanku, secara keseluruhan, birokrasi republik ini telah membaik karena belum serupiahpun uangku terpakai untuk membayar biaya administrasi yang biasa di tulis dalam tanda-petik di republik ini. Rasanya ingin berteriak girang nan histeris sambil berucap, "Terimakasih Klinik Tong Faaang..."

Kutulis ini karena bensin di tangki kreta-ku tengah menipis, sementara pemesan kopi belum mentransfer dana orderan yang sudah kami sepakati dan esok aku mesti kembali ke Kantor Disdukcapil sekali lagi…

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
23 Comments