Hujan telah reda.
Meski waktu telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, kuputuskan untuk tetap melangkah menuju Jl. Buah Batu, 350 meter jalan kaki dari rumah. Sudah dua bulan aku tak minum susu segar di depan Laboratorium Biotest.
Hujan yang turun setiap sore hingga malam belakangan ini menghalangi kebiasaanku nongkrong di trotoar sambil meneguk susu segar hangat. Kang Agus Saripudin dengan mobil VW kombi birunya, menjalankan bisnis susu segar ini sudah dua puluh tahun.
“Baru buka, kang?” tanyaku.
“Eh, bapak. Betul... begitu hujan berhenti, saya berangkat ke sini.” Aku rasa kang Agus umurnya tak jauh selisih denganku, malah mungkin aku lebih muda beberapa tahun.
“Ibu mana, pak?”
“Sudah tidur.”
Jika aku pelanggan tetap susu murni hangat, maka istriku penikmat yoghurt aneka rasa di situ.
Ada dua pasang remaja duduk lesehan memegang susu masing-masing. Maksud saya, masing-masing mereka memegang segelas susu.
“Biasa, pak?”
“Iya.”
“Susu murni hangat satu,” perintah kang Agus ke putranya yang malam itu menemani sang ayah.
Jalanan yang basah, tak terlalu ramai lalu lintas berlalu lalang. Sekali dua pengendara yang melintas berteriak menyapa kang Agus dari dalam mobil yang dibalasnya dengan tawa renyah.
Biasanya, jam operasional kang Agus dari jam sembilan malam sampai jam tiga pagi. Hanya jika hujan, buka setelah hujan reda. Pelanggannya tidak hanya penghuni sekitar, tapi juga dari tempat yang jauh.
Agus Saripudin, The Milk Man of Susu Murni Buah Batu
Aku menyukai susu segar sejak kecil. Semasih menjadi mahasiswa di Yogyakarta, minum susu murni di tenda kaki lima adalah ritual mingguan yang kusukai. Di Yogya, penjual susu murni juga menyediakan roti bakar dan telur setengah matang. Tapi kang Agus hanya menjual susu murni dan yoghurt dengan berbagai variasi rasa. Kadang-kadang ada kue juga.
Berbisnis susu dirintis kang Agus sejak tahun 1976, saat masih duduk di bangku SMP. Dengan menggunakan sepeda, pagi hari kang Agus mengantarkan ke rumah-rumah pelanggan di perumahan yang berada di seputaran Turangga - Lengkong. Sekolahnya pada siang hari. Saat itu Bandung belum seramai sekarang. Bemo masih melayani rute Buah - Batu Kebun Kelapa dan jalur lainnya.
Gg. Sukaresik Jl. Mutiara (dekat SMP 13), ca. 1976 (courtesy of Agus Saripudin)
Bisnis susu murni dengan tekun dijalani kang Agus. Sepeda onthel diganti dengan sepda motor sehingga wilayah pemasaran bertambah luas. Akhirnya, pada pertengahan 90-an sampai dengan sekarang ini—hingga dikaruniai tiga pasang putra dan putri—lapak dagang Kang Agus adalah VW kombi biru yang legendaris itu.
Penjual susu segar seperti kang Agus sudah sangat langka. Sekarang susu murni dikemas dalam kotak karton atau botol plastik. Minum susu kemasan memang praktis, tapi aku kehilangan ritual yang menjadi upacara setengah wajib bagiku. Duduk di pinggir jalan sambil menyesap susu murni hangat tanpa pemanis atau campuran perasa lain, bagaikan sedang berkontemplasi dengan jagat semesta.
Dagang keliling, Jl. Salak, Kavaleri Turangga, Bandung, ca. 1994 (courtesy of Agus Saripudin)
Satu demi satu pelanggan kang Agus mulai berdatangan, duduk bersila di tikar.
“Kang, bungkus susu stoberi satu,” ujar seorang pelanggan yang merupakan karyawan karaoke di seberang jalan. Berarti sudah lewat tengah malam. Mungkin hanya kota Bandung yang merupakan kota tujuan wisata namun tempat hiburan malam dibatasi jam operasionalnya sampai tengah malam saja. Setidaknya yang tampak dari luar.
“Kemana saja selama ini enggak kelihatan, pak?” tanya kang Agus setelah melayani pembeli tersebut.
“Pulang kampung, kang.”
“Memang kampungnya di mana?”
“Aceh, kang.”
Dan seperti biasa, setiap orang yang baru tahu aku berasal dari Aceh akan menanyakan peristiwa bencana 13 tahun silam.
“Waktu tsunami dulu Bapak di Aceh?”
“Kebetulan lagi di Jambi.”
“Oh...”
Akhirnya bincang-bincang kami merambah ke semua arah mata angin. Rasanya hampir seluruh wilayah Nusantara—bertiga dengan putranya—kami petakan di trotoar Buah Batu dini hari tadi.
Menjelang dini hari, aku mulai merasakan pelupuk mata mulai melawan, berat untuk diangkat. Kabut tipis melayang turun mengambang di permukaan aspal, lembap. Jok motor yang diparkir basah oleh embun. Kuputuskan untuk pamit pulang. Kusodorkan sepuluh ribuan yang mendapat kembalian selembar dua ribuan
Saat kutinggalkan kang Agus dan VW kombi biru yang telah menjadi ‘tengaran’ (landmark) kota Bandung itu, tikar-tikar di trotoar depan Laboratorium Biotest Buah Batu telah penuh dengan para remaja penikmat susu segar.
Me and Milk: The Milky Way
Bandung, Februari 26, 2018
All Photographs: ©Ikhwanul Halim (ayahkasih)