Kerajaan yang Menyaru sebagai Republik

U45P5029DT20141007085658.jpg



sejarah kita tidak dimulai dengan penakluk dunia
seperti Jenghis Khan, Timur-i-Lang atau Iskandar Agung;
mereka yang berbicara dengan bahasa berbeda,
dalam legenda kita menyebut sebagai keturunan langsung
namun kita berbagi cerita kosong.

kapal yang membawa Marco Polo, Sam Po Kong atau Ibnu Batutah
di tepian hutan bakau purba, didera musim hujan deras dan dingin;
lempar sauh di muara sungai berkabut, cadik pribumi berdayung galah
menatap wajah Musi Rawas, Siak, Citarum, Kapuas, Banyuasin
menurut kisah nenek moyang yang ditaklukkan.

kita adalah garuda, palapa, suara semesta raya penguasa alam
bata penyusun dari tulang, perekat daging dan pewarna darah;
membangun candi dan kota dibantu mambang dan jin hanya semalam
hembusan napas bara api dari dada tak bertameng berzirah
hikayat tanah terjajah yang kita nyanyikan.

tidakkah semestinya kita bersama mencari api?
lagu cahaya yang tak goyah, dari dalam jiwaku
sebuah nama melayang bagai asap, roh berkata-kata
menyusun nubuat, kesurupan mencari
dari hutan, serak memanggil rumah.

tapi apa yang bisa kusampaikan tentang Kerajaan?
fatamorgana yang kita sampirkan sebagai milik
tertekuk di kaki, tertunduk di muka, gadaikan
setelah melihat semua batas bumi yang pelik
hampa ruang, tak kecuali bilik semedi.

berseru memanggil gelap mendekat, untuk bicara
bicara sebagai suku, meminta puak tidur meratap,
meratap mengigau meninggi bahasa,
bahasa bermimpi: mendekatlah, menengadah
tengadah menatap kejora, berseru.

mencari cermin menatap muka sungai,
yang mengalir tenang kembalikan masa silam
bagaimana mungkin tak ada yang hilang?



Bandung, 6 November 2017

Image source

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
5 Comments