Komentar Bergizi di Steemit
Diskusi dengan @horazwiwik memberikan inspirasi bagi saya untuk berkomentar tentang komentar dari sebuah postingan. Komentar adalah sebuah respon yang diberikan Steemians terhadap sebuah postingan. Selain dalam bentuk komentar, upvote juga termasuk respon (ini yang lebih ramai karena selau diingatkan dan diharapkan). Ada juga postingan yang dilihat dan dibaca, tetapi tidak meninggalkan jejak berupa komentar dan upvote. Respon senyap seperti ini, bagi saya, juga salah satu bentuk reward, sebuah bentuk apresiasi.
[Source]:
()
Bentuk Respon
Jadi, setidaknya ada empat respon yang diberikan dari sebuah postingan: dibaca, di-upvote, dikomentari, dan di-resteem. Bahkan bisa dikatakan, tidak merespon pun adalah sebuah respon meski itu bukan respon yang kita harapkan.
Postingan yang di-_upvote, belum tentu dibaca. Ini terlihat dari logo “mata” di bawah postingan yang terkadang lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah upvote. Postingan saya tentang Kantor KPUD Yogyakarta yang menggunakan bekas Markas Tentara Pelajar, misalnya, terlihat disparitas yang jauh antara yang upvote dengan yang baca (dalam hal ini, diklik dianggap sebagai sudah dibaca meski tak persis demikian).
@ayijufridar/misteri-tawa-di-markas-tentara-pelajar-cagar-budaya-indonesia-or
Sampai Minggu 6 Agustus 2017 pukul 6:06, postingan tersebut sudah 62 kali dilihat (baca: dibaca). Namun, yang memberikan upvote hanya 26 orang dan komentar 34 termasuk respon dari saya sendiri terhadap komentar Steemians yang lain.
Perbedaan yang terlalu jauh ini tentu bisa dipahami sebab tidak selamanya yang membuka postingan tersebut tertarik untuk memberikan upvote atau berkomentar. Atau bisa jadi karena yang membuka belum memiliki akun di Steemit. Dari seorang anggota KPUD Yogyakarta, Rani, saya mendapatkan informasi bahwa tautan (link) postingan itu di Steemit dikirim ke grup WA KPU se-Yogya. Pasti di antaranya ada yang meng-klik bahkan kemudian membaca.
Saya juga memposting tautan tersebut di media sosial seperti Twitter, di mana saya memiliki 2.146 pengikut. Dari jumlah itu, dua atau tiga orang pasti ada yang membuka tautan tersebut, meski di antaranya ada yang belum memiliki akun Steemit. Ini sesuai pengalaman saya pribadi yang pada akhir 2016 lalu membaca sebuah postingan tentang mata uang kripto (cryptocurrancy) setelah mengikuti tautan di Twitter dan membawa saya ke Steemit. Hanya saja, saat itu saya belum memahami apa itu Steemit.
Respon yang paling ideal dari sebuah postingan, menurut saya, adalah dibaca, di-upvote, dikomentari secara cerdas, dan kemudian di-resteem. Itulah sebaik-baiknya respon.
Motif & Modus
Saya selalu memposting cerpen di Steemit, baik naskah yang pernah dipublikasikan atau belum. Baru cerpen lama maupun baru. Pernah sekali waktu, saya memposting cerpen sepanjang 1.700-an kata (kata ya, bukan karakter!) yang tentu saja lumayan panjang. Baru lima detik, sudah ada komentar di bawahnya, bahwa endingnya sangat menarik!
Terima kasih sudah berkomentar dan memberikan reward lainnya. Tapi lima detik tidak akan selesai membaca cerpen sepanjang 1.700 kata. Atau hanya membaca endingnya saja pada kalimat terakhir? Ending sebuah cerpen tidak selamanya di kalimat terakhir. Bisa jadi kalimat terakhir hanya pelengkap terhadap kejutan di paragraf sebelumnya. Saya cenderung menganggap, sahabat Steemians ini tidak membacanya. Tapi sekali lagi, thanks a lot for your response.
Sebuah komentar memiliki latar belakang tersendiri. Apakah sungguh-sungguh berkomentar, ingin mendapatkan reward dari komentar (saya juga punya motif seperti ini meski tidak selamanya), sekadar berbasa-basi, atau hanya sebagai modus yang kita sendiri tidak tahu. Apa pun itu, harus selalu mengapresiasikannya daripada cuek terhadap postingan kita. Begitulah prinsip saya.
Ada kasus seperti yang disampaikan @horazwiwik di mana komentarnya seseorang sama untuk semua postingan karena ia hanya meng-_copy paste_kan komentar. Cara seperti ini tentu tidak menyenangkan bagi pengirim postingan sebab terlihat sekadar komentarnya sekadar berbasa-basi, ataupun motifnya mengingatkan orang tersebut kepada dirinya dengan cara yang tidak kreatif.
Ruang diskusi
Komentar seharusnya menjadi ruang diskusi yang mencerahkan terhadap berbagai masalah. Tidak jadi persoalan apakah sahabat Steemians berbeda pendapat dalam topik yang didiskusikan. Yang penting, tetap saling menghargai pendapat orang lain. Sejak di bangku kuliah, saya termasuk orang yang suka berdiskusi, suka berdebat, tapi tidak dalam suasana permusuhan meski ada perbedaan tajam.
Komentar yang dibalas dengan komentar dalam waktu yang relatif singkat, juga merangsang kita untuk berpikir taktis dan cepat. Kita menjadi terlatih, teribiasa, dan kemudian menjadi karakter untuk selalu menemukan kata dan kalimat yang tepat dari sebuah isu. Dalam ini terus dilakukan, pada akhirnya akan membuat keterampilan menulis dan cara berpikir kita semakin terasah, berkualitas, dan tentu saja bergizi yang tidak saja menyehatkan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Sedekah literasi, barangkali itu judulnya.
Tambahan ilmu
Dari komentar yang bergizi itu sahabat Steemians juga bisa mendapatkan tambahan ilmu, dan saya sering mendapatkannya, termasuk dari @horazwiwik terutama tentang bahasa Inggris. Sekali dikoreksi, saya akan selalu mengingatnya dan tidak akan melakukan kesalahan serupa pada tulisan berikutnya.
Melakukan kesalahan itu manusiawi. Bahkan lebih baik melakukan banyak kesalahan karena banyak berbuat, daripada tidak ada kesalahan karena tidak melakukan apa pun. Rencanakan untuk lebih banyak melakukan kesalahan, maka kita akan tuai kesuksesan, kata Rod Judkins dalam bukunya The Art of Creative Thinking. Billi PS Lim dalam buku Berani Gagal juga mengingatkan kita untuk tidak takut dengan kesalahan.
Makanya, saya juga sering berkomentar seperti itu pada postingan orang lain. Kalau kebetulan menemukan ada kesalahan, atau ada informasi atau pengalaman yang berkaitan dengan postingan, saya menyampaikannya dalam bentuk komentar. Kebetulan beberapa sahabat Steemians sering mengirim tautan postingan ke WA saya dan minta dikomentari dan dikritik. Kalau memang mampu, saya melakukannya dengan senang hati dan akan meninggalkan jejak berupa komentar yang saya harap bisa bergizi meski sedikit.
Reward yang bergizi
Komentar yang bergizi juga memberi peluang mendapatkan reward berupa upvote. Saya senang dengan komentar yang berupa kritik dan bukan hujatan dan sering meng-upvote komentar tersebut. Sudah sepantasnya gizi dibalas dengan gizi agar kita sama-sama sehat dan menyehatkan baik jiwa maupun raga.
Kalau ada komentar yang selalu berbalas reward, tak lain bisa kita temukan pada akun @jiahn yang selalu mengapresiasi setiap komentar meski tidak disampaikan dalam bahasa Inggris atau Korea. Tidak heran bila banyak sahabat Steemians yang berkomentar pada postingannya meski sekadar sepotong kalimat “nice post”, “very interesting”, “I like your pictures”, dan sejenisnya yang singkat, padat, dan jelas.
Ada juga komentar yang disampaikan dengan nada bercanda sehingga menimbulkan tawa, atau minimal membuat kita tersenyum. Ini juga termasuk komentar bergizi tinggi karena bikin awet muda.
Semangat mendapatkan reward dari komentar ini jangan sampai membuat sahabat Steemians mengambil kutipan dari tulisan lain dan mempostingkannya dalam bentuk komentar. Sudah pernah--bahkan sering-- terjadi, sebuah komentar didatangi CHEETAH karena mencomot dari tulisan orang lain.
Perbincangan mengenai komentar selama ini juga sering kami diskusi dengan sejumlah Steemians aktif di Lhokseumawe, termasuk ketika beberapa jam dugem (duduk gembira) dengan kurator Indonesia @aiqabrago dan @levycore di Lhokseumawe yang berlangsung dalam dua sesi. Diskusi itu juga dihadiri @teukumukhlis, @alol, @muammar, @abduhawab, @muammar, @makhzar, @harferri, @masriadi, @yahqan, @zainalbakri, dan @heriadi yang sedang sibuk menulis di seberang meja bersama sejumlah rekan lainnya. Inti dari diskusi tersebut adalah bagaimana membuat komentar yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Bahkan dari sebuah postingan yang nilai gizinya rendah pun kita harus membuat komentar yang bergizi tinggi.
Terima kasih semuanya, juga bagi @happyphoenix, @jodipamungkas, @amryksr, dan sahabat Steemians lainnya yang sering berkomentar di postingan saya.
Lhokseumawe, Minggu 6 Agustus 2017