Steemian Friends! Here is a story about the salt farmer family life and the traditional salt making process I wrote for my steemit content on this evening Saturday March 24, 2018 at about 13:00 pm. Hopefully my writing has a fascination as well as make an information to the steemian friends about how the process of making salt traditionally.
Grandfather Syamsuddin (65) and his wife named Jamaliah (60) are married couples. Both are residents of Meunasah Blang Village, Darul Aman District, East Aceh District, Aceh Province, Indonesia. This poor family had become salt farmers 35 years ago. Syamsuddin who is familiarly called Kek Syam blessed with three children, two sons and one daughter from marriage with the beloved wife Jamaliah. This poor family, to always meet the needs of everyday life is from the salt produced with his wife. His activity as a salt farmer is not far only a distance of 10 meters, just behind the house.
Grandfather Syamsuddin said, being a salt farmer is a duty to survive and the necessities of life. Because he has no skills other than being a salt farmer and this work has been done since he was young. Especially in this modern era, if we do not have the skills of how to work except to be a rough laborer and I am old then it is impossible to work as a rough laborer. So I kept my job as a salt farmer.
Although a salt farmer, Shamsuddin's grandfather was always grateful for the results he had worked for decades to become a salt farmer. Her three children grew up from salt so she could send her three children to school even though she could only graduate from high school but she was very happy.
Grandpa Syamsuddin also expects assistance from the government for the needs of work support tools. But since decades of being a salt farmer, he has not felt the help of the government. Though the need itself is very simple if measured by money the amount is not how the Rp 5.000.000 only.
Although there is no help from the government he keeps trying and trying with tools that have been there so far. Grandpa Shamsuddin complained that the most urgent thing was to build two huts. One hut for storing salt that has been processed and another cottage for cooking salt and two drums of oil for use as a container as a place to cook water into salt.
Grandfather Syamsuddin mention salt production is usually sold to the salt agent at a price of Rp. 6,000 to Rp 8,000 in perkilogramnya. Salt agents when they want to buy will usually come two or three days to take salt. During this one thing that has always been an obstacle for Syamsuddin's grandfather is in addition to rainy weather is the raw material of wood for fuel to boil salt. Usually Syamsuddin's grandfather bought wood for Rp. 5.00.000 in one pickup car in a wooden car can be used for three to four times the production of salt.
Steemian Friends! Here is the process of making salt the traditional way:
The traditional process of salt production is by drying the soil. How to dry the soil is still done by small scale salt farmers. The traditional way to make the first salt is to dry the soil, starting with sweeping the soil or salt-containing sand. The dredged soil is then dried in the sun for one day. Then after dry soil is collected into containers such as wells.
The well is formed like a volcano crater that has been coated with a burlap used as a water filter. sea water that is doused into a container like a well and then poured sea water which had previously been accommodated. Once poured into a container such as a well and then the water will flow into a small container under the well container that has been made before. The small container is to hold the filtered water from the first well container to hold the old water from the filtered product.
Why old water? because this filtering water has salt content that is saltier or taller. The old water is taken by using a bucket and then put into the drum as a container of water with a very high salt content. Then water that is stored earlier or water with a higher salt content is not directly cooked, but should be left for 12 hours to 1 day for fine sand in the water to settle. Meanwhile, old water or high salted water that has been silenced and then boiled or cooked into a grain of salt.
The process of boiling water that high salinity rate takes 5 hours to 8 hours duration. Salt boiling results are still not good for consumption, this salt must be drained first until the salt is dry and the color turns white. In one day production process conducted by salt farmers only one time that is in the afternoon.
But the process of making salt can be done every day but depends on the weather as well. In rainy weather, farmers can not dry up previously dredged lands. To anticipate the weather if the rain is usually salt farmers have prepared an old water supply salinity content high in drum tub so that the process of cooking salt can be done every day. The thing that often becomes a dilemma for these salt farmers is when the soil has been dry for a day, suddenly it rains. So the drying process any land will fail and have to start all over again.
Hi ! Steemian, if anyone is interested to be a salt farmer above I have informed in the form of writing that I get from the description of grandfather Syamsuddin and below also I attach some photos that I portrait using my Nikon D3100 camera. Thanks. Hopefully my post is useful of course for steemian.
INDONESIA
Kakek Syamsuddin Selama 35 Tahun Menjadi Petani Garam
Teman Steemian! Berikut ini adalah kisah tentang kehidupan keluarga petani garam dan proses pembuatan garam tradisional yang saya tulis untuk konten steemit saya pada malam ini, Sabtu, 24 Maret 2018 sekitar pukul 13.00. Semoga tulisan saya memiliki daya tarik serta memberikan informasi kepada teman-teman steemian tentang bagaimana proses pembuatan garam secara tradisional.
Kakek Syamsuddin (65) dan istrinya bernama Jamaliah (60) adalah pasangan yang sudah menikah. Keduanya adalah warga Desa Meunasah Blang, Distrik Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Indonesia. Keluarga miskin ini telah menjadi petani garam 35 tahun yang lalu. Syamsuddin yang akrab disapa Kek Syam dikaruniai tiga anak, dua putra dan satu putri dari pernikahan dengan istri tercinta Jamaliah. Keluarga miskin ini, untuk selalu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah dari garam yang diproduksi bersama istrinya. Aktivitasnya sebagai petani garam tidak jauh hanya berjarak 10 meter, tepat di belakang rumah.
Kata Kakek Syamsuddin, menjadi petani garam adalah kewajiban untuk bertahan hidup dan kebutuhan hidup. Karena dia tidak memiliki keterampilan selain menjadi petani garam dan pekerjaan ini telah dilakukan sejak dia muda. Terutama di era modern ini, jika kita tidak memiliki keterampilan bagaimana bekerja kecuali menjadi buruh kasar dan saya sudah tua maka tidak mungkin untuk bekerja sebagai buruh kasar. Jadi saya mempertahankan pekerjaan saya sebagai petani garam.
Meskipun seorang petani garam, kakek Shamsuddin selalu bersyukur atas hasil yang telah ia kerjakan selama puluhan tahun untuk menjadi petani garam. Ketiga anaknya tumbuh dari garam sehingga dia dapat mengirim tiga anaknya ke sekolah meskipun dia hanya bisa lulus dari sekolah menengah tapi dia sangat bahagia.
Kakek Syamsuddin juga mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk kebutuhan alat pendukung kerja. Namun sejak puluhan tahun menjadi petani garam, dia belum merasakan bantuan dari pemerintah. Padahal kebutuhan itu sendiri sangat sederhana jika diukur dengan uang jumlahnya tidak seberapa Rp 5.000.000 saja.
Meski tidak ada bantuan dari pemerintah dia terus mencoba dan mencoba dengan alat yang telah ada sejauh ini. Kakek Syamsuddin mengeluh bahwa yang paling mendesak adalah membangun dua gubuk. Satu pondok untuk menyimpan garam yang telah diproses dan pondok lain untuk memasak garam dan dua drum minyak untuk digunakan sebagai wadah sebagai tempat untuk memasak air menjadi garam.
Kakek Syamsuddin menyebutkan produksi garam biasanya dijual ke agen garam dengan harga Rp. 6.000 hingga Rp 8.000 di perkilogramnya. Agen garam ketika mereka ingin membeli biasanya akan datang dua atau tiga hari untuk mengambil garam. Selama ini satu hal yang selalu menjadi kendala bagi kakek Syamsuddin adalah selain cuaca hujan adalah bahan baku kayu bakar untuk merebus garam. Biasanya kakek Syamsuddin membeli kayu seharga Rp. 5.00.000 dalam satu mobil pikap di dalam mobil kayu dapat digunakan untuk tiga hingga empat kali produksi garam.
Teman Steemian! Berikut adalah proses pembuatan garam dengan cara tradisional:
Proses tradisional produksi garam adalah dengan mengeringkan tanah. Cara mengeringkan tanah masih dilakukan oleh petani garam skala kecil. Cara tradisional untuk membuat garam pertama adalah mengeringkan tanah, dimulai dengan menyapu tanah atau pasir yang mengandung garam. Tanah yang dikeruk kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama satu hari. Kemudian setelah tanah kering dikumpulkan ke dalam wadah seperti sumur.
Sumur ini terbentuk seperti kawah gunung berapi yang telah dilapisi dengan goni yang digunakan sebagai filter air. air laut yang disiram ke dalam wadah layaknya air sumur kemudian dituangkan air laut yang sebelumnya telah ditampung. Setelah dituangkan ke dalam wadah seperti sumur dan kemudian air akan mengalir ke wadah kecil di bawah wadah sumur yang telah dibuat sebelumnya. Wadah kecil adalah untuk menahan air yang disaring dari wadah sumur pertama untuk menahan air lama dari produk yang difilter.
Kenapa air lama? karena air penyaringan ini memiliki kandungan garam yang lebih asin atau lebih tinggi. Air yang lama diambil dengan menggunakan ember dan kemudian dimasukkan ke dalam drum sebagai wadah air dengan kandungan garam yang sangat tinggi. Kemudian air yang disimpan sebelumnya atau air dengan kandungan garam yang lebih tinggi tidak langsung dimasak, tetapi harus dibiarkan selama 12 jam hingga 1 hari agar pasir halus di air mengendap. Sementara itu air lama atau air asin tinggi yang telah didiamkan kemudian direbus atau dimasak menjadi butiran garam.
Proses air mendidih yang tingkat salinitasnya tinggi membutuhkan waktu 5 jam hingga 8 jam lamanya. Hasil garam mendidih masih belum baik untuk dikonsumsi, garam ini harus dikeringkan terlebih dahulu sampai garam kering dan warnanya menjadi putih. Dalam satu hari proses produksi dilakukan oleh petani garam hanya satu kali yaitu pada sore hari.
Tetapi proses pembuatan garam dapat dilakukan setiap hari tetapi tergantung pada cuaca juga. Saat cuaca hujan, petani tidak bisa mengeringkan tanah yang sebelumnya dikeruk. Untuk mengantisipasi cuaca jika hujan biasanya petani garam sudah menyiapkan stok air lama yang kandungan salinitasnya tinggi di drum bak penampungan sehingga proses pemasakan garam bisa dilakukan setiap hari. Hal yang sering menjadi dilema bagi petani garam ini adalah ketika tanah sudah kering selama satu hari, tiba-tiba hujan turun. Jadi proses pengeringan tanah pun akan gagal dan harus mulai dari awal lagi.
Hai! Steemian, jika ada yang tertarik untuk menjadi petani garam di atas saya telah diberitahu dalam bentuk tulisan yang saya dapatkan dari deskripsi kakek Syamsuddin dan di bawah ini juga saya melampirkan beberapa foto yang saya potret menggunakan kamera Nikon D3100 saya. Terima kasih. Semoga postingan saya bermanfaat tentu saja untuk steemian.
By: @iskandarishak