Bersihkan Tulisanmu!

Bersihkan Tulisanmu!

Bergabung di Steemit saat ini memberikan pemahaman bahwa dunia ke depan adalah dunia tulisan. Semua orang dituntut menjadi penulis kreatif, bukan hanya pembaca pasif.

Steemit telah memacu banyak pemuda di Aceh dan Nusantara untuk mau menulis. Perhitungan pemuda menurut PBB adalah dibawah 59 tahun (hehehe). Tulisan bukan saja yang berat-berat seperti para analis ekonomi, filsuf, dosen, atau pengarang. Namun tulisan juga bisa hadir yang ringan-ringan atau lucu-lucu seperti problem yang kita temui sehari-hari. Apalagi kegiatan menulis di Steemit ternyata bisa menghasilkan duit. Meskipun jangan langsung berpikir tentang uang, pikirkanlah tentang kualitas. Ketika Anda berpikir tentang uang, semua menjadi buyar dan lintang-pukang.

Problem kemudian terlihat di situ. Banyak tulisan yang dipublikasi, baik dalam bahasa Indonesia atau Inggris, lupa melakukan editing. Apa yang dimaksudkan dengan mengedit? Tak lain kegiatan menunda untuk mengepos tulisan sehingga diyakini tulisan itu telah bersih dari pelbagai macam najis dan sampah!

Sampah yang saya maksudkan di sini baik pada kesalahan data, pembentukan kalimat, hingga proses perbaikan kesalahan ketik (misspeling/grammatical mistakes). Itu tidak bisa dilakukan sekali jadi. Perlu pembacaan yang berulang. Pengalaman saya sebagai penulis, proses editing untuk tulisan sepanjang 800 kata memerlukan waktu edit sekitar 30-45 menit.

Kok bisa?

Tulisan yang kita edit hanya sekali biasanya masih meninggalkan masalah pada struktur kalimat. Kalimat pasif kadang kehilangan objek dan adverbia (kata keterangan). Demikian pula kalimat aktif yang tidak jelas frasa atau anak kalimatnya. Hal yang juga sering sekali terjadi adalah kesalahan penggunaan kata “meskipun”, yang masih menggunakan kata “tapi” setelahnya. Itu fatal seperti minum susu kambing sambil makan semangka! (apakah betul mitos ini?).

IMG-20170814-WA0024.jpg

Yang paling sering berulang adalah pada penggunaan kata “di”. Apabila sebagai preposisi maka ia bertemu dengan nomina atau kata benda yang proses pembentukannya dipisah (di rumah, di warkop, di Steemit). Adapun ketika berada di depan verba atau kata kerja maka prosesnya pembentukannya disambung (dipeluk, dicakar, dibanting: wah makin sadis pilihan verbanya).

Demikian juga penggunaan kapital atau huruf besar. Di depan semua nama tempat, nama jalan, nama orang, hingga nama kota atau kecamatan semuanya kapital ya? Jangan pernah menulis Aceh dengan huruf kecil (aceh), atau “Gayo” dengan “gayo”. Itu juga bisa dianggap mengecilkan si pemilik nama. Si pemilik bahasa bisa beurigen. Omong-omong tentang beurigen, ia harus ditulis italic atau cetak miring. Sebab itu bahasa Aceh yang artinya lebih kurang kesal atau mengamuk. Dia dicetak miring karena dianggap sebagai bahasa asing. Jadi bahasa asing bukan hanya bahasa Inggris, Perancis, Swedia, atau Finlandia. Semua yang tidak termaktub di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) harus ditulis secara italic.

Terakhir, jangan pernah menulis kata dengan kapital semua seperti laporan polisi atas kasus pidana. Misalnya tidak betul menulis KAMU BESAR KEPALA! Meskipun semarah-marahnya kita, semua kata di atas tidak punya hak dibesarkan semuanya. Kapital yang berjejer hanya terjadi dalam pembentukan akronim atau singkatan seperti KPK untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, KPA untuk Komunitas Peradaban Aceh (hehehe), ISI (Institut Seni Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dll.

Terakhir, nasihat menjelang makan siang ini, jangan lupa baca lagi tulisan yang sudah selesai minimal tiga kali lagi. Pengertiannya adalah ketika tulisan itu sudah dianggap selesai dengan segala tetek-bengeknya (?). Saya sendiri biasa mengedit minimal empat hingga delapan kali. Kalau kita jijik pada najis, maka jangan biarkan ada najis linguistik di tulisan kita. Tak ada lain cara lain kecuali bersihkan dengan mengedit secara paripurna.

Last but not least, jangan biarkan ada kalimat seperti ini: “ yang bahwasanya yaitu supaya adalah”. Mereka konjungsi yang tidak boleh dijejer seperti itu. Kalau di khutbah terdengar seperti itu, kita bisa beritahu khatibnya setelah Salat Jumat. Jangan interupsi di tengah khutbah kalau tak ingin kena boh soh (tinju) oleh jamaah.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
43 Comments