The 100-Year Journey of De Javasche Bank in Aceh - 100 Tahun Perjalanan De Javasche Bank di Aceh [Bilingual]

BI1.jpg
Source: Bank Indonesia Chapter Aceh

Good day, good people.

This time, I had written a special post telling you about a precious historical building in my place, Aceh. This historical building was built in 1918. The building has many stories to tell but rarely do people around me notice. It must be a fate that I accidentally had read 100 Year History Challenge held by @sndbox and @phillyhistory. Fortunately, the story I am presenting you right now had been long time planned to be written, but fail due to lack of motivation. However, this #explore1918 challenge has pushed me to complete the story of this precious history within several days. Such a great motivation to be grateful for. Well, this is the history of The 100-Year Journey of De Javasche Bank in Aceh. Hopefully, you will enjoy the reading.

Kali ini saya akan membahas sebuah postingan khusus yang menceritakan tentang sebuah bangunan bersejarah yang memiliki peranan cukup penting di wilayah Aceh. Bangunan bersejarah ini pertama kali dibangun pada tahun 1918. Banyak sekali cerita yang dapat diangkat dari kehadiran bangunan ini namun masih jarang orang sadar akan kehadirannya. Sepertinya ini takdir karena saya secara tidak sengaja membaca tantangan 100 Year History Challenge dari @sndbox dan @phillyhistory terus tiba-tiba merasa klik, cocok. Anggap saja tantangan #explore1918 ini merupakan sebuah keberuntungan tersendiri karena cerita yang saya bagikan kali ini sebenarnya telah lama saya rencanakan untuk ditulis, tapi selalu gagal selesai karena saya tidak memiliki cukup motivasi. Namun, melalui tantangan ini saya mampu menyelesaikan cerita hanya dalam beberapa hari, benar-benar motivasi yang luar biasa, saya sendiri tidak menyangka. Baiklah, ini merupakan kisah tentang Sejarah 100 Tahun Perjalanan De Javasche Bank di Aceh. Selamat membaca, semoga postingan ini menyenangkan.


The 100-Year Journey of De Javasche Bank in Aceh


If one day you come to Banda Aceh then spend a moment walking through the edge of Krueng Aceh (The Aceh River) from Supratman street to Diponegoro street, you will be able to see an ancient white-colored building marked with the named of "Bank Indonesia". It has been 100 years since the Bank Indonesia building stood on the "porch of Mekkah" (Indonesian: Serambi Mekkah) this year, 2018. Previously, the building was hit by tsunami 13 years ago and suffered some severe damage, but had been renovated. Fortunately, this building is still standing strong and functioning just like 1 century ago.

Jika suatu saat kamu datang ke Banda Aceh kemudian menghabiskan sejenak waktu berjalan menelusuri tepian Krueng Aceh dari Jl. Supratman menuju Jl. Diponegoro, kamu akan dapat melihat sebuah bangunan kuno berwarna putih ala Belanda bertuliskan "Bank Indonesia". Genap sudah 100 tahun gedung Bank Indonesia berdiri di tanah serambi mekkah di tahun 2018 ini. Gedung ini pernah diterpa tsunami 13 tahun silam dan mengalami beberapa kerusakan yang cukup parah, namun telah direnovasi. Beruntungnya, gedung ini masih kokoh berdiri dan berfungsi sama seperti 1 abad yang lalu.

Formerly, this building called De Javasche Bank and now known as the office of Bank Indonesia (BI). It located on Jl. Cut Meutia No. 15, Merduati, Kuta Raja Sub-district, Banda Aceh City, Aceh Province. Initially De Javasche Bank was built to control the wheels of the economy in Aceh, print and control the circulation of money for the benefit of Dutch colonizers. Its function was to support the Dutch East Indies government operating in Aceh at that time.

Dahulu gedung ini bernama De Javasche Bank dan kini dikenal sebagai kantor Bank Indonesia (BI). Lokasinya terletak di Jl. Cut Meutia No. 15 Kelurahan Merduati, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Awalnya tujuan gedung De Javasche Bank dibangun adalah untuk mengontrol roda perekonomian di Aceh, mencetak uang serta mengontrol peredaran uang di negara daerah jajahan Belanda. Fungsinya adalah untuk mendukung perekonomian pemerintah Hindia Belanda yang beroperasi di Aceh kala itu.


Source: De Javasche Bank 1828

The De Javasche Bank building was designed with the spirit of colonialism. Neo colonial patterned architecture could be seen from the use of high foundation and roof as well as thick walls. The architectural concept was intended to show various forms of intimidation through political structure, semiotic politics. The former of De Javasche Bank building was built into a political part of the structure and architecture of the Dutch East Indies "political building". The building became a symbol of the political legitimacy of a nation's economy, from the Dutch to the Indonesian nation.

Gedung De Javasche Bank dirancang dengan semangat kolonialisme. Arsitektur yang bercorak neo kolonial terlihat dari penggunaan pondasi dan atap yang tinggi serta beton dan dinding yang tebal. Konsep arsitektur tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan rupa-rupa Intimidasi melalui politik struktur, politik semiotik. Bekas bangunan De Javasche Bank yang dibangun menjadi bagian politik struktur dan arsitektur "bangunan politik" Hindia Belanda. Bangunan tersebut menjadi simbol legitimasi politik ekonomi suatu bangsa, dari bangsa Belanda hingga bangsa Indonesia.

De Javasche Bank Development History


Source: De Javasche Batavia

The establishment of De Javasche Bank was initiated by King William I from Netherlands in the year of 1826. But this new company officially became the Dutch Indies circulation bank in 1828.

Pendirian De Javasche Bank diprakarsai oleh Raja William I di Belanda pada 1826. Namun kemudian perusahaan ini baru resmi menjadi bank sirkulasi Hindia Belanda pada tahun 1828.

According to historical records, De Javasche Bank was built in Aceh by the Dutch East Indies colonial government on December 2nd, 1918. De Javasche Bank in Aceh is one of the 16 branch offices in the Dutch East Indies. Citing from Erwien Kusuma's book, Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia" (Fragmen Sejarah Bank Sentral di Indonesia) stated that in order to realize the dream of building magnificent buildings in every city, De Javasche Bank contracted Ed. Cuypers en Hulswit Architect Bureau with a development duration of 25 years, from 1910 to 1935.

Menurut catatan sejarah, De Javasche Bank cabang Aceh dibangun oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tanggal 2 Desember 1918. De Javasche Bank cabang Aceh merupakan 1 dari 16 kantor cabang di Hindia-Belanda. Mengutip buku Erwien Kusuma dalam bukunya "Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia" (Fragmen Sejarah Bank Sentral di Indonesia) disebutkan bahwa demi mewujudkan mimpi membangun gedung-gedung yang megah di setiap kota, De Javasche Bank mengontrak Biro Arsitek Ed. Cuypers en Hulswit dengan durasi pembangunan selama 25 tahun, terhitung sejak 1910 hingga 1935.

From 1910 to 1920, a duo of architect consultants, Eduard.HGH Cuypers and Marius J. Hulswit (Ed Cuypers en Hulswit), built 8 De Javasche Bank located in Surabaya / Soerabaja (1911), Makassar (1912), Yogyakarta / Jogjakarta (1912 ), Surakarta / Soerakarta (1912) Medan / Tandjoengpoera (1912), Bandung / Bandoeng (1915), Cirebon / Cheribon (1918), and Banda Aceh / Koetaradja (1918). Evidently, the all 8 De Javasche Bank buildings of the 1920 era have the similarities architectural.

Dari tahun 1910 hingga 1920, duo konsultan arsitek Eduard.H.G.H Cuypers dan Marius J. Hulswit (Ed. Cuypers en Hulswit) membangun 8 De Javasche Bank yang bertempat di Surabaya/Soerabaja(1911), Makassar (1912), Yogyakarta/Jogjakarta (1912), Surakarta/Soerakarta (1912) Medan/Tandjoengpoera(1912), Bandung/Bandoeng (1915), Cirebon/Cheribon (1918), dan Banda Aceh/Koetaradja (1918). Ke-8 bangunan De Javasche Bank era 1920 memiliki kemiripan arsitektur.


Source: De Javasche Koetaradja

When M.J. Hulswit passed away in 1921, the project was continued by the new company in collaboration with architect A.A. Fermont under the bureau named N.V. Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam or Fermont-Cuypers Bureau. In contrast to the concept of De Javasche Bank branch of Banda Aceh before, the building that worked after 1920 actually has diverse architectural features. Especially from the roof shape of the building that resembles the roof of Joglo's house. The building is unique because it combines European and local-style architecture.

Ketika M.J. Hulswit meninggal dunia pada 1921, projek ini dilanjutkan oleh perusahaan baru bekerja sama dengan arsitek A.A. Fermont di bawah biro bernama N.V. Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam atau disingkat Biro Fermont-Cuypers. Berbeda dengan konsep De Javasche Bank cabang Banda Aceh sebelumnya, bangunan yang digarap setelah tahun 1920 justru memiliki ciri arsitektur yang beragam. Terutama dari bentuk atap bangunan yang menyerupai atap rumah Joglo. Gedung-gedung tersebut menjadi unik karena mengkombinasikan arsitektur bergaya Eropa dan lokal.

The post De Javasche Bank buildings project in 1920 was developed in Banjarmasin/ Bandjermasin (1922), Pemantang Siantar (1923), Padang (1924), Pontianak (1924) dan Kediri(1927). From the 5 cities, it is mentioned that the construction of De Javasche Bank in Banjarmasin had special development techniques because the building can stand majestically and firmly on the swamp land. The other three cities where De Javasche Bank was established were in Manado, Palembang and Semarang. But in some other sources, it had been mentioned that De Javasche Bank also been built in Pasuruan, Bengkalis, Malang, and Tanjungbalai/Tandjoengbalai.

De Javasche Bank pasca 1920 dibangun di Banjarmasin/Bandjermasin (1922), Pemantang Siantar (1923), Padang (1924), Pontianak (1924) dan Kediri(1927). Dari ke-5 kota, disebutkan bahwa pembangunan De Javasche Bank Banjarmasin memiliki teknik pembangunan khusus dikarenakan gedung mampu berdiri megah dan kokoh di atas lahan rawa. Adapun tiga kota lainnya tempat De Javasche Bank didirikan berada di Manado, Palembang dan Semarang. Namun di beberapa sumber lainnya disebutkan bahwa De Javasche Bank juga dibangun di Pasuruan, Bengkalis, Malang, dan Tanjungbalai/Tandjoengbalai.


Source

Later, after Indonesia declared independence in 1945 and gained sovereignty from Dutch in 1950, De Javasche Bank switched function to the Central Bank of Republic of Indonesia on 1st of July 1953. The aim is to achieve and to maintain the stability of the value of IDR/the rupiah (against goods, services, and currency of other countries).

Kemudian, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan di tahun 1945 dan pengakuan kemerdekaan Belanda atas kedaulatan NKRI di tahun 1950, De Javasche Bank beralih fungsi menjadi Bank Sentral Republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Tujuannya adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (terhadap barang, jasa, dan mata uang negara lain).


Source

Bank Indonesia (De Javasche Bank) Before and After the Tsunami

De Javasche Bank (Aceh) in the Dutch colonial period


Source

BI (De Javasche Bank) during Tsunami

sites20a.jpg
Source

Bank tsunami.jpg
Source

BI (De Javasche Bank) After Tsunami


Source

Currency Policy during Colonization, at the Independence Time, and Currently

As a central bank, Bank Indonesia has three main tasks: monetary, banking and payment systems. In addition, BI is also tasked to continue the commercial bank functions undertaken by De Javasche Bank before. In addition to the three central tasks of the central bank, BI is also tasked with assisting the Government as a development agency to encourage the smoothness of production, development and expand employment opportunities to improve people's lives.

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mendapat tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, BI juga ditugaskan untuk melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan De Javasche Bank sebelumnya. Selain tiga tugas pokok bank sentral, BI juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.

Change Money.jpg

Source 1 and Source 2

The decision to change the currency from Gulden to Rupiah is a breakthrough in the post-colonial era that deserves a standing applause. But at the same time, when De Javasche Bank in Aceh will reach the age of 1 century, Bank Indonesia (BI) seem to forget and just stop being flexible in accepting cryptocurrency as an innovation in terms of improving people's lives through economic improvement nowadays.

Many issues toward banning Steem and SBD by Bank Indonesia have been worrying a lot of Indonesian steemian, not to mention steemian in Aceh as well. Actually, Steem and SBD issues have been positively explaned by many crypto analyst specialist including @fararizky as well as CEO www.acehtrend.co, @rismanrachman.

Keputusan perubahan mata uang dari Gulden ke Rupiah merupakan sebuah terobosan di pasca zaman penjajahan dulu yang patut diancungi jempol. Namun tepat di tahun yang sama ketika De Javasche Bank di Aceh akan mencapai 1 abad, BI seakan lupa dan justru berhenti untuk flexibel menerima perubahan mata uang kripto (cryptocurrency) sebagai inovasi dalam hal meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui perbaikan ekonomi saat ini. Penolakan penggunaan Steem dan SBD sempat mengkhawatirkan para Steemian di Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Padahal seperti penjelasan yang pernah dituliskan oleh spesialis Kripto KSI Chapter Banda Aceh, @fararizky, bahwa sistem ini lebih transparan dan mampu mensejahterakan rakyat Aceh maupun Indonesia. Bersamaan dengan itu, CEO www.acehtrend.co, @rismanrachman juga membagikan penjelasan lengkap terkait fatwa halal/haram penggunaan mata uang KRIPTO.


money and pride.jpg

Source

Hopefully, Indonesia that had changed the face of De Javasche Bank colonial model to be the Central Bank of Indonesia (BI) can be more straightforward and ready to accept circulation changes in financial arrangements in the future by opening themself toward cryptocurrency. I hope, this 100 years of De Javasche Bank building in Aceh can give a lesson learn for Acehnese people to change the bitter historical memory into a better future.

Setelah 1 abad, Indonesia yang telah mengubah wajah De Javasche Bank model kolonial menjadi Bank Sentral Indonesia (BI) bisa semakin lugas dan siap untuk melakukan sirkulasi perubahan penataan keuangan, terutama di Aceh. Semoga 100 tahun De Javasche Bank yang telah berada di Aceh, memberikan pembelajaran berharga bagi warga Aceh untuk mengubah nilai sejarah yang pahit menjadi hal manis di masa depan.

That's all for today's historical story. Hope you enjoy it.
For the @betterperson. See you next time~
icon ayu.png


References:
De Javasche Bank
De Javasche Bank and Aceh
The Statesman's Year-Book 1988-89 p.695
Architecture of De Javasche Bank

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
28 Comments