Agha Shahid Ali adalah penyair Amerika yang menulis puisi modern. Latar belakangnya, sebagai orang kelahiran India, tetap membayang dan kadang muncul kentara dalam puisi-puisinya.
Sebelumnya saya telah menyajikan terjemahan atas salah satu puisinya, "Malam Ini" ("Tonight").
Anda bisa membacanya di sini: Puisi, Tuhan, Ismail dan Agha Shahid Ali
Kali ini saya akan menyajikan puisinya yang lain: "Snow on the Desert". Judul puisi ini langsung menggodam pembaca. Dia kontradiktif tapi puitis. Salju di gurun. Mungkinkah ada salju di gurun? Mungkin. Tapi, kontras antara kegersangan gurun dan basahnya salju akan lebih membayang di benak pembaca.
Namun, bila kita baca puisinya, kita akan menemukan bahwa salju dan gurun itu adalah metafor. Sebuah amsal dari kehilangan.
Silahkan membaca.
Salju di Gurun
Agha Shahid Ali
"Setiap sinar matahari sudah tua tujuh menit,"
Serge memberitahuku di New York pada suatu malam di bulan Desember.
"Jadi ketika aku melihat langit, aku melihat masa lalu?"
"Ya, ya," katanya, "terutama pada hari yang cerah."
Pada 19 Januari 1987,
dinihari saat
aku mengantar adikku ke Tucson International,
tiba-tiba di Alvernon dan 22nd Street
pintu geser kabut terbuka,
dan salju, yang telah turun semalaman, sekarang
disilaukan matahari, membutakan kami, bumi memutih
tumbuh, seolah-olah kokain, tanaman-tanaman gurun,
warna mineral kerasnya padam,
anggur membeku di pembuluh kaktus.
***
Gurun Berbau Seperti Hujan: di dalamnya aku baca:
Sirup dari mana anggur suci dibuat
diekstrak dari saguaros masing-masing
musim panas. Para papago meletakkannya di stoples-stoples,
yang terakhir melunak, lalu menjadi gelap
menjadi warna darah walau terasa
manisnya aneh, hampir putih, seperti anggur kering.
Seperti yang aku katakan pada Sameetah ini, kami masih
tujuh mil jauhnya. "Dan kau tahu bunga-bunga
saguaros hanya mekar di malam hari?"
Kami berkendara perlahan, jalanan berkaca.
"Bayangkan tempat kita ini dulu sebuah samudera.
Bayangkan saja!" Langit terus menerus
safir, dan masa lalu terjadi begitu cepat:
saguaros-saguaros telah membuka diri, membentangkan
keluar tangan mereka ke sinar-sinar berusia jutaan tahun,
di setiap sinar rahasia asal usul
planet ini, sinar-sinar menyakiti setiap kaktus
kepada kenangan, kenangan manusia
karena mereka adalah manusia, para Papago berkata:
Bukan hanya karena mereka punya lengan dan pembuluh
dan rahasia. Tapi karena mereka juga adalah suatu suku,
rentan terhadap pembantaian. "Ini seperti
akhir, mungkin awal dunia,"
Kata Sameetah, sambil menatap lengan-lengan-baju-salju
mereka. Dan kami berkendara di tepi samudera
yang menguap di sini, di pantainya,
masa lalu sekarang terjadi begitu cepat sehingga masing-masing
Lampu lalu-lintas menusuk kami masuk ke kenangan, langit
segera mencatat ketika kami berputar
di Tucson Boulevard dan meluncur ke
bandara, dan aku sadar bahwa bumi
mencair dari kerinduan ke kerinduan dan
bahwa kami akan dilupakan oleh lengan-lengan itu.
***
Di bandara aku menatap pesawatnya
sampai jendela itu
sebuah cermin lagi
Saat aku kembali ke kaki bukit, kabut
menutup pintunya di belakangku di Alvernon,
dan aku menghirup laut-laut kering
bumi telah hilang,
pantai mereka yang ditinggalkan. Dan aku ingat
momen lain yang hanya mengacu
kepada dirinya sendiri:
di New Delhi pada suatu malam
ketika Begum Akhtar bernyanyi, lampu-lampu padam.
Mungkin selama Perang Bangladesh,
Mungkin ada sirene,
peringatan serangan udara
Tapi penonton, terdiam, bergeming.
Mikrofon sudah mati, tapi dia terus
bernyanyi, dan suaranya
datang dari jauh
jauh, seolah dia sudah mati.
Dan sesaat sebelum lampu menyiraminya
lagi, mencairkan embun beku
berliannya
menjadi bersinar, seperti gelap gulita
kabut ini, sesaat ketika hanya lautan yang hilang
yang bisa didengar, waktunya
untuk mengingat
setiap bayangan, segala yang bumi telah kehilangan,
waktunya untuk memikirkan semua yang bumi
dan aku telah kehilangan segalanya
bahwa aku akan kehilangan,
atas semua kehilangan.
Catatan
- Puisi ini dipetik dari Agha Shahid Ali, "Snow on the Desert", dalam A Nostalgist's Map of America (W. W. Norton & Company, Inc., 1992)
- saguaros (Carnegiea gigantea), kaktus raksasa yang cabangnya berbentuk seperti tempat lilin bercabang, adalah tanamaan asli Amerika Serikat Barat Daya dan Meksiko.
- Papago, sebutan bagi anggota suku Indian Amerika di Amerika Serikat Barat Daya dan Meksiko utara.
- Sumber foto: Pixabay
Semoga tulisan ini bermanfaat. Kalau Anda mendukung saya untuk menulis artikel-artikel semacam ini, tolong Upvote dan Resteem artikel ini. Silahkan pula follow saya @blogiwank.
Artikel Saya yang Lain